ERA.id - Bayang-bayang kasus suap yang membelit CEO dan pendiri Sinovac, Yin Weidong, sehubungan dengan sejumlah produk vaksin di medio 2002-2011 memaksa beberapa pihak berhati-hati dalam menyikapi vaksin COVID-19 Coronavac buatan perusahaan tersebut. Rendahnya standar moral Sinovac dalam berbisnis dijadikan cermin tingkat keamanan vaksin tersebut, terutama ketika data efikasi resmi Coronavac masih nihil.
Kembali ke tengah wabah SARS di China hampir dua dekade lalu, Sinovac merupakan produsen vaksin SARS pertama yang pada 2003 menyelesaikan uji klinis. Vaksin flu babi buatannya juga yang pertama sampai ke masyarakat pada tahun 2009.
Namun, di saat yang sama, CEO Sinovac Yin Weidong juga diketahui kerap memberi "uang pelicin" ke regulator kesehatan China.
Sebuah analisa catatan persidangan oleh koran The Washington Post, menunjukkan Sinovac, yang masih berupa startup pada 2001, punya jalan pintas ke garda depan industri vaksin China lewat proyek-proyek prioritas Beijing serta aksi suap di bawah meja yang melibatkan regulator kesehatan dan tim penjualan di rumah-rumah sakit.
Dalam kesaksian persidangan tahun 2016, Yin Weidong mengakui telah melakukan suap dengan nilai total 83.000 dolar AS (Rp1,17 miliar) selama 2002 hingga 2011 kepada seorang pejabat regulasi validasi vaksin bernama Yin Hongzhang beserta istrinya. Hongzhang sendiri mengakui bahwa suap itu dilakukan untuk mempercepat sertifikasi vaksin-vaksin Sinovac.
Hongzhang pada tahun 2017 divonis hukuman penjara selama 10 tahun karena telah menerima suap dari Sinovac dan tujuh perusahaan lainnya.
Namun Yin Weidong, kini 56 tahun, lepas dari hukuman dan turut mengawasi proses pembuatan vaksin COVID-19 Sinovac tahun ini.
Sinovac, dalam laporan tahunan yang dirilis April lalu, sudah mengakui kasus penyuapan yang melibatkan direktur utama mereka, sambil mengatakan bahwa Weidong bersikap kooperatif selama proses pengadilan dan akhirnya dinyatakan tidak bersalah.
Dalam sebuah testimoni, Yin Weidong mengaku dipaksa memberi uang suap oleh Hongzhang.
"Sejarah panjang perusahaan ini dalam hal suap-menyuap menyebabkan banyak keragu-raguan atas klaim data vaksin yang hingga kini belum dipublikasikan atau ditilik oleh sesama peneliti," kata Arthur Caplan, direktur divisi etika medis di Langone Medical Center milik New York University.
"Bahkan di tengah wabah, sebuah perusahaan yang punya rekam jejak moral yang mencurigakan harus diperlakukan dengan hati-hati."
Sejauh ini vaksin COVID-19 Sinovac belum terjerat oleh skandal keamanan apapun.
Sinovac menjadi satu dari dua produsen vaksin COVID-19 utama China. Produk vaksinnya kini berada di fase uji klinis yang sama dengan vaksin unggulan lainnya buatan Moderna dan Pfizer/BioNtech.
Secara domestik, vaksin Sinovac justru berada di posisi kedua di belakang vaksin Sinopharm yang didukung oleh pemerintah China, yang juga telah diberikan ke hampir sejuta orang melalui program penggunaan secara darurat.
China masih memiliki sastu produk vaksin korona lagi, yaitu yang dikembangkan CanSino bersama institut riset militer China, yang juga telah menerima izin penggunaan secara darurat khusus kepada pasukan militer negeri tersebut.