ERA.id - Komunitas pengungsi Rohingya yang tinggal di tenda-tenda pemukiman di perbatasan Bangladesh mengaku mengecam kudeta yang dilancarkan militer Myanmar. Namun, mereka "tidak merasa iba" pada Kanselir Aung San Suu Kyi yang kini telah digulingkan dan ditahan.
Melansir Al Jazeera, Selasa, (2/2/2021), pemimpin komunitas Rohingya di distrik Cox's Bazar, Mohammad Yunus Arman, mengatakan bahwa banyak keluarga mereka yang tinggal di negara bagian Rakhine dibunuh militer ketika Suu Kyi berkuasa.
"Namun, dia bungkam atas hal ini. Ia bahkan sama sekali tak pernah menyebut nama 'Rohingya'. Dulu kami pernah berdoa bagi kesuksesannya dan memperlakukan dia layaknya seorang ratu. Namun, setelah 2017, kami sadar akan sifat aslinya," kata Yunus.
"Saya tidak merasa iba bahwa dia (Suu Kyi) digulingkan dari kepemimpinannya."
Pada hari Senin, pihak militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan demokratis sah yang dipimpin Suu Kyi. Sang kanselir pun ditahan pihak militer bersama sejumlah pimpinan politik dari partainya. Militer lantas menyatakan Myanmar dalam kondisi darurat untuk 1 tahun ke depan.
Kudeta, yang dilatari tuduhan kecurangan dalam pemilu Myanmar November lalu, juga menimbulkan ketidakpastian khusus bagi para pengungsi Rohingya.
Saat ini pemukiman pengungsi di Cox's Bazar, di kawasan selatan Bangladesh, menjadi perkampungan pengungsi terbesar di dunia, menampung 1 juta pengungsi yang umumnya beragama Muslim. Mereka tinggal berdesak-desakan di dalam tenda temporer.
Pemerintah Myanmar menyatakan berkomitmen untuk merepatriasi para pengungsi Rohingya lewat perjanjian bilateral dengan Bangladesh. Namun, bulan lalu Dhaka justru memindahkan beberapa pengungsi ke pulau Bhasan Char yang terpencil di Teluk Bengal.
Sejauh ini 7.000 pengungsi Rohingya telah dikirim ke pulau yang rentan terendam air rob tersebut.
"Selama empat tahun terakhir, kami telah berbicara soal kepulangan kami ke kampung halaman di Myanmar, tapi tak ada kemajuan di sisi tersebut," kata Arman pada Al Jazeera.
Sentimen yang sama juga dikatakan oleh Sayed Ullah, pemimpin komunitas Rohingya di kampung pengungsi Thaingkhali. Kepada media yang berpusat di Qatar itu, ia mengaku sudah biasa dengan perlakuan represif dari militer Myanmar. Baginya, pemerintah Suu Kyi pun sama saja buruknya karena tak banyak bertindak atas kekerasan militer, yang oleh PBB telah disebut sebagai 'genosida' pada tahun 2017 lalu.
Namun, Ullah mengaku lebih khawatir bahwa kudeta militer akan membuat upaya repatriasi pengungsi terbengkalai.
"Dengan militer mengambil alih kekuasaan, kami merasa proses repatriasi bakal mandeg. Tak mungkin pihak militer bakal mempersilakan kami kembali ke tanah air kami," kata dia.