ERA.id - Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh senior lainnya dari partai berkuasa ditangkap dalam penggerebekan dini hari, menurut juru bicara Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Senin (1/2/2021).
Melansir ANTARA, penangkapan adalah puncak dari ketegangan antara pemerintahan sipil dan militer selama beberapa hari terakhir, yang menimbulkan kekhawatiran kudeta pascapemilu. Militer menyebutkan bahwa pemilu di Myanmar diwarnai kecurangan.
Juru bicara Myo Nyunt melalui telepon mengatakan kepada Reuters bahwa Suu Kyi, Presiden Win Myint dan sejumlah pemimpin lainnya "dibawa" pada dini hari.
"Saya ingin memberitahu masyarakat kami untuk tidak langsung menanggapi (kejadian itu) dan saya ingin mereka bertindak sesuai hukum yang ada," katanya, mengaku bahwa dirinya kemungkinan juga bakal ditahan.
Melansir Reuters, pihak militer sebelumnya telah menyatakan bahwa terjadi kecurangan dalam pemilu Myanmar. Usai penangkapan itu, pemerintahan kini diambil alih oleh pimpinan militer Min Aung Hlaing.
Masa darurat bakal berlangsung di Myanmar selama satu tahun ke depan, demikian disampaikan kanal televisi milik militer.
Aung San Suu Kyi, wanita berumur 75 tahun yang pernah dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian, memimpin Myanmar setelah memenangi pemilu pada tahun 2015. Hal itu mengakhiri rentetan tahanan rumah yang ia alami akibat upayanya memperjuangkan demokrasi di tengah rezim militer di Myanmar.
Nama Suu Kyi sempat tercemar menyusul kaburnya ratusan ribu warga etnis Rohingya dari kawasan barat Myanmar sejak tahun 2017. Namun, namanya tetap populer di dalam negeri.
Tensi politik sudah meninggi sejak pekan lalu setelah juru bicara militer kukuh mengenai kemungkinan kudeta menjelang sidang parlemen pada Senin ini. Pemimpin militer Min Aung Hlaing bahkan menyatakan prospek atas dihapusnya konstitusi 2008 yang bersifat demokratis.
Upaya kudeta militer di Myanmar mengundang kritik dari sejumlah negara Barat. Daniel Russel, diplomat AS untuk Asia Timur di era Barack Obama, mengatakan bahwa kudeta menjadi kemunduran bagi demokrasi di Myanmar.
John Sifton, direktur advokasi di Asia untuk organisasi Human Rights Watch, mengatakan bahwa bahwa militer Myanmar tak pernah mau tunduk pada aturan sipil. Ia mendesak negara-negara lain untuk menerapkan "sanksi ekonomi yang berat" pada rezim militer dan aktivitas ekonomi mereka.