Darurat Militer Meluas di Myanmar, Warga Dilarang Berkumpul dan Unjuk Rasa

| 09 Feb 2021 10:27
Darurat Militer Meluas di Myanmar, Warga Dilarang Berkumpul dan Unjuk Rasa
Aksi protes menentang kudeta militer di Myanmar. (Foto: Wai Wai Nu/Twitter)

ERA.id - Pemerintah lokal Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar, pada Senin (8/2/2021) menyatakan berlakunya kondisi darurat militer di wilayah tersebut. Hal ini terjadi setelah ratusan ribu warga turun ke jalan menolak kudeta militer dan larangan unjuk rasa.

Aturan ini bakal melarang warga di 7 kecamatan di Mandalay untuk berunjuk rasa atau berkumpul dalam kelompok yang berisilebih dari lima orang. Jam malam akan berlaku mulai pukul 8 malam hingga 4 pagi, sebut departemen urusan umum setempat, dikutip Channel News Asia (CNA).

Darurat militer juga diberlakukan di Kecamatan Ayeyarwaddy di wilayah selatan. Kemungkinan area-area lain juga akan mengumumkan hal serupa seiring berjalannya waktu.

"Beberapa orang bersikap dengan cara yang bisa membahayakan keamanan publik dan pihak kepolisian. Perilaku tersebut bisa mempengaruhi stabilitas, keamanan warga, para polisi, dan situasi yang damai di wilayah pedesaan, serta bisa menyebbakan huru-hara," sebut pernyataan pemerintahan lokal Mandalay.

"Itulah kenapa ada pelarang untuk berkumpul, berbicara secara publik, unjuk rasa menggunakan kendaraan, dan berkampanye."

Pihak militer dikabarkan tidak menggunakan pendekatan represif terhadap aksi protes warga yang telah meliputi sebagian besar negeri tersebut, demikian dilaporkan CNA. Namun, polisi huru-hara telah menggunakan meriam air untuk membubarkan para demonstran.

Aksi protes ini terjadi sepekan setelah junta militer menahan Kanselir Aung San Suu Kyi dan puluhan anggota partai pemerintah, National League for Democracy (NLD). Aksi kudeta pun mengakhiri satu dekade pemerintahan sipil di Myanmar.

Unjuk rasa makin meluas pada akhir pekan lalu ketika koneksi internet di Myanmar diputus secara nasional. Puluhan ribu orang turun ke jalan meneriakkan seruan "Bubarkan Kediktatoran" hingga "bebaskan Daw Aung San Suu Kyi dan mereka yang ditahan".

Banyak orang tidak mempedulikan larangan unjuk rasa. Pada akhir pekan lalu, kelompok pekerja tekstil, pekerja negeri sipil, dan karyawan perkeretaapian melakukan mogok kerja di Yangon, pusat bisnis di Myanmar. Mereka berjalan sambil mengacungkan tiga jari simbol perlawanan terhadap junta militer.

Di Mandalay, warga turun ke jalan sambil membawa foto Aung San Suu Kyi dan mengibarkan bendera merah dari partai sang pemimpin gerakan sipil tersebut.

Junta militer menyatakan Myanmar dalam kondisi darurat hingga satu tahun ke depan, memicu kecaman dari sejumlah negara.

Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik sedunia, pada Senin mendesak pembebasan dari para tahanan politik.

Sementara itu, anggota parlemen di Asia Tenggara mendesak pihak militer menghormati hak warga untuk berunjuk rasa. Tom Villarin dari forum Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia meminta militer untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap aksi unjuk rasa damai.

Rekomendasi