ERA.id - Membuka pertemuan tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang hak asasi manusia, Senin, (22/2/2021), Sekretaris Jenderal PBBAntonio Guterres mendesak militer Myanmar untuk membebaskan tahanan politik dan menghentikan penggunaan kekerasan.
Dilansir Al Jazeera, Guterres pada Senin membuka konferensi tingkat tinggi pertama di tahun 2021, yang akan berlangsung selama empat pekan ke depan. Acara ini bakal membicarakan isu kudeta di Myanmar, penangkapan tokoh oposisi Rusia Alexey Navalny, dan situasi HAM di Ethiopia dan Sri Lanka.
Acara ini diadakan oleh Hhuman Rights Council, dan sejumlah presiden hingga perdana menteri dijadwalkan akan hadir dan memberikan pidato.
"Setiap sudut dunia sedang menderita akibat pelanggaran hak asasi manusia," kata Guterres dalam pidato pembukaannya.
Kudeta militer dan penanganan yang diliputi kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di Myanmar sejak awal Februari menjadi salah satu isu paling mendesak dalam agenda acara ini.
"Hari ini saya mendesak militer Myanmar untuk menghentikan penindasan, sekarang juga," kata Guterres, yang pidatonya ditayangkan lewat rekaman video di Jenewa, Swiss.
"Bebaskan tahanan. Akhiri kekerasan ini. Hormati hak asasi manusia, dan kehendak rakyat yang terekspresikan lewat pemilu terakhir," kata dia, sambil menambahkan bahwa "kudeta tidak memiliki tempat di atas muka bumi."
"Kita telah melihat bagaimana demokrasi disepelekan, tercermin dari penggunaan kekerasan secara brutal, penangkapan sewenang-wenang, dan represi. Pembatasan ruang sipil. Serangan terhadap masyarakat sipil. Pelanggaran serius terhadap kaum minoritas, termasuk apa yang disebut sebagai pembersihan etnis terhadap populasi Rohingya. Dan masih banyak lagi."
Sesi ke-46, yang hampir seluruhnya dijalankan secara virtual, terjadi ketika pemerintahan di dunia menggunakan pengendalian wabah COVID-19 sebagai upaya pemberangusan hak asasi warga, dengan masih terjadinya ketidaksetaraan gender, distribusi vaksin yang tidak merata, dan kemiskinan akut.
Guterres, lapor Al Jazeera, juga mengutuk rasisme, diskriminasi, xenofobia, dan kemunculan semangat neo-Nazi di berbagai belahan dunia, yang ia sebut "sekadar menunggangi kebencian."
"Sering kali, kelompok penuh kebencian ini didukung oleh orang-orang yang punya kuasa, sesuatu yang bagi sebagian orang di masa lalu seperti tak mungkin terjadi," kata dia.
Pertemuan mengenai HAM ini nantinya juga memuat agenda pembaruan partisipasi Amerika Serikat dalam konsul tersebut, setelah selama dua setengah tahun absen sebagai akibat dari keputusan Presiden Donald Trump.
Kekhawatiran mengenai perlakuan pemerintah China terhadap minoritas Uighur, penindasan pemerintah Ethiopia terhadap masyarakat di Tigray, dan kekerasan negara terhadap warganya sendiri, seperti terjadi di Nikaragua, kemungkinan besar akan mendapat sorotan tajam dalam forum ini.
Menteri-meteri luar negeri termasuk Heiko Maas dari Jerman, hingga Dominic Raab dari Inggris, termasuk Sekretaris Negara AS Antony Blinken, dijadwalkan bakal berpidato dalam forum.
Sebelumnya, Trumpsempat mengeluarkan AS dari Human Rights Council atas alasan forum ini "terlalu fokus" pada Israel dan di saat yang sama terlalu lunak pada negara-negara yang sering melanggar hak asasi manusia.