ERA.id - Dewan Keamanan PBB akhirnya merilis pernyataan yang mengecam tindakan kekerasan di Myanmar serta meminta agar militer tidak sewenang-wenang terhadap aksi unjuk rasa damai, Rabu, (10/3/2021).
Dilansir Al Jazeera, pernyataan yang digarap selama beberapa hari tersebut disetujui oleh 15 negara anggota DK PBB dan intinya "mengecam keras kekerasan terhadap aksi unjuk rasa damai, termasuk terhadap wanita, kaum muda, dan anak-anak."
"Dewan mendesak pihak militer untuk sangat berhati-hati, dan kami menekankan bahwa kami terus memantau perkembangan situasi ini."
Pernyataan tersebut tidak mengecam kudeta militer pada 1 Februari dan tidak mencantumkan sanksi konkret yang bakal diterima oleh junta militer. Hal ini kemungkinan dilatarbelakangi permintaan dari diplomat China, Rusia, India, dan Vietnam, seperti dilaporkan Al Jazeera.
Sementara itu, Sekretaris-Jenderal PBB Antonio Guterres mengaku berharap bahwa pernyataan itu akan mendesak pihak junta untuk berpikir bahwa pembebasan tahanan politik "bersifat esensial", dan bahwa hasil pemilu November lalu harus dihormati.
Junta militer selama ini beralasan kudeta militer harus dilakukan karena pemilu, yang dimenangkan secara telak oleh Partai National League for Democracy, diliputi banyak kecurangan. Pihak junta menjanjikan pemilu baru, namun, tidak menyampaikan kapan pemilu itu akan diselenggarakan.
Komisi pemilu Myanmar telah menyanggah adanya kecurangan dalam pemilu pada November lalu.
Kelompok advokasi the Assistance Association for Political Prisoners pada Rabu malam menyebutkan bahwa 60 orang tewas sejak dimulainya aksi unjuk rasa. Sementara itu, lebih dari 2.000 orang telah ditahan dan 1.689 orang kini masih belum dibebaskan.
Pernyataan dari DK PBB sendiri disambut baik oleh sejumlah kelompok hak sipil. Namun, beberapa pihak berharap ada lebih banyak langkah konkret terhadap situasi di Myanmar.
"Langkah Dewan Keamanan atas situasi di Myanmar merupakan tanda perkembangan yang baik," kata Grant Shubin, direktur hukum organisasi the Global Justice Center di New York, dikutip Al Jazeera.
"Namun, ini masih sangat minimal. Ini harus dilihat sebagai titik start. Kecaman dan desakan untuk menghormati hak asasi manusia adalah hal-hal yang penting, namun warga Myanmar tidak hanya menunggu pernyataan dari komunitas internasional. Mereka menunggu aksi konkret untuk menghentikan serangan pihak militer terhadap demokrasi."