ERA.id - Manusia tidak bisa hidup selamanya dan pasti akan mengalami penuaan, demikian kesimpulan sebuah penelitian paripurna soal isu longetivitas, alias 'umur panjang' manusia.
Diketahui, industri pencegah penuaan dini saat ini cukup 'basah', bernilai pasar 110 miliar dolar AS, setara Rp1,58 triliun - dan diprediksi meningkat jadi 610 miliar dolar AS pada 2025. Industri ini ditopang oleh bisnis, badan pemerintahan, hingga ilmuwan yang berupaya menggunakan teknologi genomik dan kecerdasan buatan (AI) untuk mencegah penuaan pada tubuh manusia.
Bahkan, kalau bisa, industri ini ingin menemukan bagaimana caranya agar manusia bisa hidup selamanya.
Namun, sebuah penelitian baru-baru ini mengonfirmasi bahwa manusia tidak pernah bisa memperlambat, atau menghentikan, laju penuaan tubuhnya karena "adanya sejumlah batasan biologis", seperti disampaikan di The Guardian, (18/6/2021).
Penelitian yang melibatkan ilmuwan dari 14 negara, termasuk beberapa pakar dari Universitas Oxford, ini sejak semula bertujuan untuk membuktikan dugaan bahwa pola penuaan spesies primata - termasuk manusia - adalah di mana-mana sama.
"Temuan kami mendukung teori yang mengatakan manusia itu, alih-alih berhasil memperlambat kematian, sebenarnya hidup lebih lama karena tingkat mortalitas yang rendah di usia muda," sebut Jose Manuel Aburto dari Leverhulme Centre for Demographic Science, Universitas Oxford. Aburto selama ini mendalami data kelahiran dan kematian yang tercatat selama beberapa abad di sejumlah benua.
"Kami membandingkan data kelahiran dan kematian dari manusia dan primata non-manusia, dan menemukan pola umum kematian adalah sama di berbagai spesies itu," sebut Aburto.
"Artinya, faktor biologis, dan bukan lingkungan, menentukan panjangnya umur suatu spesies."
Artinya, seluruh produk anti penuaan dan longetivitas yang dijual saat ini... itu tak berpengaruh pada panjang umur manusia.
"Statistik membuktikan bahwa seseorang bisa hidup lebih lama karena kesehatan dan taraf hidup populasinya meningkat. Hal ini pun diikuti umur yang lebih panjang di seluruh anggota populasi. Meski begitu, laju kematian yang meningkat tajam, seiring bertambahnya umur, jelas terlihat di seluruh spesies."
David Gems, profesor biogerontology dari Institute of Healthy Ageing, University College London, mengakui bahwa kesimpulan studi ini "sangat kuat" dan berdasar.
Data yang dianalisa oleh tim Aburto menunjukkan pola berikut: di usia bayi, risiko kematian suatu spesies sangat tinggi, namun, risiko itu menurun dengan cepat seiring ia memasuki masa remaja. Risiko ini tetap rendah memasuki masa dewasa awal, kemudian meningkat seiring bertambah tuanya si spesies.
"Temuan kami mengonfirmasi bahwa umur orang-orang jaman dulu terukur demikian karena banyak orang mati muda," sebut Aburto. "Namun, seiring majunya bidang medis, sosial, dan lingkungan, angka harapan hidup meningkat."
"Makin banyak orang bisa hidup lebih lama saat ini. Namun, proyeksi menuju kematian tidak pernah berubah," kata dia. "Penelitian ini menunjukkan bahwa biologi evolusioner mengalahkan segalanya, dan sejauh ini kemajuan di bidang medis belum mampu mengungguli pola biologis tersebut."