ERA.id - Rezim militer Myanmar, atau disebut dengan julukan 'Tatmadaw', menggunakan taktik pemberangusan rakyat sipil yang telah dipakai selama 70 tahun terakhir untuk menumpas kelompok separatis, demikian disebut sebuah kelompok HAM Myanmar.
Melansir Al Jazeera, (5/7/2021), pola kekerasan yang terjadi pasca kudeta 1 Februari lalu memiliki kesamaan dengan penumpasan kelompok etnis separatis di negara bagian Karen di era 1960an. Taktik ini disebut dengan istilah 'four cuts' atau putus-empat.
"Tatmadaw tidak menggunakan istilah 'four cuts' lagi, namun strategi (penumpasan rakyat sipil) jelas mirip dengan taktik putus-empat yang digunakan terhadap kelompok etnis slama 70 tahun ini," sebut Naw Htoo Htoo, direktur program di Karen Human Rights Group.
'Putus-empat' yang dimaksud adalah pemutusan akses warga sipil atas makanan, pembiayaan, informasi intelijen, dan personil perlawanan. Strategi ini berupaya menyetop basis dukungan atas perlawanan bersenjata dan mengadudombakan warga sipil dengan kelompok milisi etnis.
Selain di Karen, militer Myanmar juga menggunakan strategi ini di daerah Kachin dan Rakhine, yang pada 2017 menjadi lokasi "operasi pembasmian" yang menyebabkan ratusan ribu warga Muslim Rohingya kabur ke arah Bangladesh.
Al Jazeera mengutip pendapat Kim Jolliffee, periset independen mengenai isu keamanan dan konflik di Myanmar, yang menyebut strategi putus-empat tidak hanya menganggap rakyat sipil sebagai 'bahaya sampingan' tapi juga sebagai sumber dukungan di tengah medan perang.
"Warga sipil jadi sasaran langsung tindak kekerasan (militer) dan kehidupan mereka dengan sengaja dirusak sehingga mereka tidak bisa menaungi dan mendukung kelompok-kelompok sipil bersenjata," sebut dia, dikutip dari Al Jazeera.
Penumpasan Tatmadaw terhadap rakyat sipil contohnya terjadi di kota Momauk, Kachin. PBB memperkirakan 11 ribu orang kehilangan tempat tinggal akibat operasi tersebut.
Al Jazeera menyebut, karena makin meningkatnya perlawanan bersenjata dari warga sipil, Tatmadaw telah melancarkan serangan udara dan darat secara membabi buta, menyebabkan 230 ribu orang kehilangan tempat tinggal sejak tejradinya kudeta 1 Februari lalu.