ERA.id - Virus Covid-19 C.1.2, yaitu varian virus corona yang memiliki banyak mutasi dan berisiko lebih menular, pertama kali ditemukan di Afrika Selatan pada Mei. Namun, per Selasa, (31/8/2021), varian tersebut telah menyebar ke lima negara lainnya.
Keberadaan varian Covid-19 ini pertama kali disampaikan oleh Institut Penyakit Menular Nasional (NICD) Afrika Selatan melalui sebuah makalah pra-cetak, yang dirilis Selasa lalu di laman medRxiv.
Institusi tersebut menyebut bahwa varian C.1.2 "telah banyak bermutasi" dari varian C.1 - atau varian Beta - yang telah mendominasi sebaran infeksi corona di Afrika Selatan.
Bahkan, mutasi yang dimiliki varian Covid-19 baru ini lebih banyak dari seluruh 'varian yang dikhawatirkan' yang telah dimonitor oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tim studi itu menyebut bahwa varian C.1.2 memiliki "antara 44-59 mutasi bila dibandingkan dengan virus Wuhan Hu-1," atau jenis virus yang pertama kali muncul di awal pandemi.
Penelitian itu juga menemukan bahwa di Afrika Selatan temuan virus varian C.1.2 telah meningkat dari hanya 0,2 persen dari total kasus di bulan Mei, menjadi 2 persen di bulan Juli. Kecepatan sebaran ini, melansir Yahoo News, setara dengan yang ditunjukkan oleh varian Beta dan Delta di awal penyebarannya.
Lebih-lebih, varian C.1.2 kini telah ditemukan di lima negara selain Afrika Selatan, yaitu Inggris, Portugal, Swiss, China, dan Selandia Baru.
"Kami saat ini sedang menilai dampak varian ini terhadap netralisasi antibodi pascainfeksi SARS-CoV-2, atau vaksinasi Covid-19 di Afrika Selatan," sebut penelitian NICD.
Di makalah juga disebutkan bahwa turunan varian C.1.2 memiliki tingkat mutasi sekitar 41,8 mutasi per tahun, atau hampir dua kali lebih cepat dibanding kecepatan mutasi global dari varian Covid-19 lainnya.
Hingga kini para ilmuwan belum tahu apakah banyaknya mutasi dari varian C.1.2 membuatnya lebih berbahaya. Namun, melansir Yahoo News, mereka akan mencermati mutasinya karena mutasi tersebut menyebabkan level infeksi yang lebih cepat di varian lain.
Ahli epidemiologi Dr Eric Feigi-Ding menyatakan adanya urgensi untuk meneliti varian baru yang ditemukan di Afrika Selatan ini.
"Saya baru saja mendapat konfirmasi langsung dari kolega di WHO bahwa mereka mulai menginvestigasi dan mencari tahu tentang varian C12 dari Afrika Selatan," ucapnya via cuitan di Twitter.
Dr Eric Feigi-Ding menambahkan bahwa C.1.2 juga sudah ditemukan di negara Mauritius.
Ia mengatakan bahwa varian terbaru ini merupakan varian yang paling banyak bermutasi secara global. Selain itu, karena varian ini paling berbeda dengan varian Wuhan pertama, maka dampaknya juga paling berbahaya terhadap vaksin generasi pertama.
Ia juga meluruskan korelasi antara vaksin dengan makin sering munculnya varian-varian Covid-19 yang baru.
"Mereka yang menganggap vaksin sebagai penyebab utama munculnya varian bandel seperti ini, mereka keliru besar," sebut Dr Feigi-Ding.
"Persebaran virus corona yang tak terkendali justru jadi kesempatan virus melatih diri dan beradaptasi terhadap tubuh yang imunitasnya belum disiapkan oleh vaksin."
Ilmuwan spesialis di NICD menggarisbawahi bahwa, karena varian C.1.2 masih termasuk minoritas di seluruh kasus di Afrika Selatan, vaksin-vaksin yang tersedia saat ini bisa dinilai masih efektif dalam mengontrol wabah. Hal yang sama juga bisa diterapkan secara global.
"Meski ada kemunculan varian seperti ini, semua vaksin tetap manjur mencegah gejala berat dan kematian," sebut seorang ilmuwan NICD dalam konferensi pers, Kamis lalu.