ERA.id - Suku Tionghoa di Indonesia adalah saudara kita juga. Leluhur mereka sudah banyak memberi hal dan banyak pelajaran yang baik untuk Indonesia. Seperti makanan yang enak atau cara berdagang, misalnya?
Karena hal itu, leluhur orang Tionghoa di Indonesia dari dulu memilih negara ini untuk jadi tempat berimigrasi. Bahkan sekarang, banyak orang Tionghoa yang menyatu dengan penduduk setempat melalui perkawinan campur.
Tidak heran kalau kalau ada orang Tionghoa yang mungkin perawakan atau penampilannya tidak seperti Tionghoa totok/asli seperti yang dibayangkan banyak orang.
Kita wajib bergaul bahkan akrab dengan orang Tionghoa, sama seperti suku-suku lainnya yang ada di Indonesia. Namun, jika kita bergaul, jangan sampai terlontar beberapa pertanyaan ini ke mereka. Apa saja?
Kenapa Masih Kerja Ikut Orang Lain?
Hal yang harus kita tanamkan baik-baik di kepala kita, kalau orang Tionghoa itu tidak semuanya kaya raya. Menanyakan hal ini bisa menyinggung perasaaanya.
Meski keluarga Tionghoa biasanya sudah dididik sejak kecil untuk disiplin dan bersemangat dalam bekerja, tapi definisi sukses masing-masing orang mungkin berbeda. Tidak semua orang Tionghoa mau jadi pebisnis. Ada juga yang memilih sebagai pekerja kantoran, misalnya.
Kenapa Warna Kulitmu Gelap?
Saat mendengar kata "Tionghoa", kita biasanya langsung mendefinisikan bahwa mereka berkulit putih, lengkap dengan dengan mata sipitnya. Tapi, definisi itu tidak absolut. Ada juga yang memiliki sejarah individu sendiri. Ada yang sudah tinggal di Indonesia sejak ratusan tahun lalu dan kawin campur.Hal ini jelas mempengaruhi penampilan fisik mereka.
Nama Cina Kamu Siapa?
Lumrah kalau orang Tionghoa memiliki nama Cina berdasar silsilah keluarga atau nama generasi. Asal tahu saja, semakin hari, pemberian nama seperti ini sudah jarang, mengingat diskriminasi secara terang-terangan seperti pada tahun 1960-an hingga akhir 1990-an, makin berkurang.
Kini, tidak semua orang Tionghoa masih memiliki nama Cina. Meski sekarang penggunaan nama Tionghoa mulai berkurang di masyarakat, tetapi setidaknya tetap dipakai di lingkungan keluarga.
Tahukah kamu nama Cina, selain membentuk identitas, juga tidak terlepas dari sisi fengshui? Perhitungan fengshui dalam nama seseorang dipakai, agar keturunannya nanti bisa menjadi orang yang baik, sukses, terkenal, dan sebagainya.
Tanggal, bulan, tahun, dan jam lahir pun dicarikan padanan unsurnya. Misalnya unsurnya adalah udara, maka bisa pakai nama ‘Bayu.’ Nama ‘Bayu’ berarti angin. Kalau angin, berarti unsurnya udara, atau dicarikan unsur lain yang berkaitan terhadap udara. Sekarang, kita perlu memahami, apa pentingnya kita bertanya nama Cina mereka, kalau mereka juga punya nama yang sama seperti kita?
Ni Hao Ma?
Nah, ini yang paling sering kita lakukan. Mengucap kalimat ‘Ni hao maaaaa?’ dengan nada yang panjang, serta gestur yang terkesan mengolok-olok adalah tidak baik.
Untuk menyapa, terkadang Anda ingin menimbulkan kesan bersahabat dan memakai bahasa Cina. Namun, kelirunya adalah, kita kerap mengucap salam khas mereka dengan nada yang tidak teratur.
Mungkin maksudnya baik ingin menyapa, namun ini juga bisa menimbulkan rasa kesal. Bisa saja mereka dianggap sebagai orang asing. Apalagi sebagian dari orang Tionghoa sendiri sudah tidak bisa berbahasa mandarin.
Hal ini akan lain cerita, jika yang mengucapkan salam tersebut adalah sesama orang Tionghoa. Terlebih, sebagian besar orang Tioghoa di Indonesia juga sudah menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari (kecuali di kantong-kantong basis utama, seperti di Medan, Pontianak, Surabaya, Makasar, dsb).
Kenapa Menikah dengan Sesama Tionghoa?
Pernahkah kita berpikir bahwa orang-orang Tionghoa memiliki gaya hidup yang eksklusif, dan terlihat hanya bergaul dengan sesamanya? Jika iya, anggapan ini tidak sepenuhnya benar, dan tidak juga sepenuhnya keliru. Lagi-lagi sejarah yang berhubungan dengan politik di negeri ini, secara tidak langsung telah ikut membentuk sifat eksklusivitas mereka, sebagai bentuk pertahanan diri.
Selain itu, landasan pernikahan adalah cinta, dan cinta tidak memandang suku. Di Makassar misalnya, penulis punya kerabat orang Tionghoa campuran. Ibunya adalah orang Bugis, sementara ayahnya, Tionghoa Surabaya.
Intinya, jangan anggap mereka selalu menikah dengan sesama Tionghoa saja; karena dari generasi ke generasi, orang Tionghoa juga sudah membaur dengan masyarakat lokal di Indonesia.
Adapun pernikahan sesama orang Tionghoa, memiliki berbagai faktor. Misalnya saja, prinsip keluarga untuk melestarikan trah, klan, dan etnisnya. Atau memang karena selera mereka memang lebih suka (dan nyaman) dengan sesama Tionghoa. Apalagi bagi orang Tionghoa, pernikahan bukan soal 2 individu saja, namun soal bersatunya dua keluarga besar.