Saatnya Menjadi Trendsetter

| 20 Jul 2018 17:20
Saatnya Menjadi Trendsetter
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Kenapa terus-terusan jadi follower, sih? Enggak pengin jadi trendsetter? Kalau Korea Selatan punya K-Pop dan Jepang punya J-Rock (Japanese Rock), kita punya apa? Sebenarnya banyak. Tapi sayang, cuma segelintir orang saja yang mau mengoptimalkannya.

Korea Selatan dan Jepang dikenal sangat mencintai budayanya. Dua negara bertetangga ini terbilang jarang menggunakan bahasa Inggris. Bahkan dalam urusan musik, mereka pun mampu menciptakan tren yang sekaligus menjadi identitas budaya mereka. Meski awalnya juga terpengaruh musik-musik Barat.

Fenomena K-Pop memang luar biasa. Bukan hanya marak di negaranya tetapi juga mampu mengekspansi dunia. Dan ini merupakan dampak dari gelombang budaya Korea yang disebut Hallyu, sebuah bagian tak terpisahkan dari budaya pop masyarakat global.

Hallyu menyebar dengan cepat pada akhir 1990an dalam beberapa tahap. Popularitas boyband dan girlband tersebar pada tahap Hallyu 2.0. Istilah ini lahir dari media Jepang yang menginformasikan secara luas kemunculan idola baru grup K-Pop, Girls Generations, yang melejit dengan single perdana Into The New World (2007). Inilah gerbang pembuka lahirnya gebrakan boyband dan girlband di Korea hingga ke pelosok dunia.     

Sementara itu, pergerakan J-Rock di Jepang dimulai sejak 1957 bersamaan dengan puncak kepopuleran rockabilly. Pada pertengahan 1980an, muncul genre punk rock, new wave, techno pop, hard rock dan heavy metal melalui barisan band seperti Bow Wow, Yellow Magic Orchestra, Anthem, 44 Magnum dan Loudness.  

Band yang disebut terakhir bahkan mampu menerobos pasar internasional tanpa harus menghilangkan karakter asli negara mereka. Pelafalan bahasa Inggris vokalis Minoru Nihara yang sangat 'Jepang' justru membuat band ini mendunia. Belum lagi kepiawaian gitaris Akira Takasaki yang masuk dalam kategori gitaris virtuoso. Sejajar dengan Yngwie Malmsteen, Eddie Van Halen, Jason Becker, George Lynch dan Paul Gilbert.

Indonesia juga punya musik orisinal yang beragam. Dalam hal ini, musik etnis. Hanya saja, cuma segelintir band/musisi yang berani meramunya hingga menjadi sebuah karya rekam elegan. Memang sih, semua kembali lagi kepada kebutuhan masing-masing. Tapi faktanya, kebudayaan Indonesia jauh lebih kaya dari Jepang, Korea Seltan dan bahkan Amerika Serikat. Seharusnya kita bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain. Coba kita tengok ke belakang. Indonesia ternyata selalu menghasilkan band/musisi yang sudi menggabungkan unsur modern dengan unsur etnis. Dan hasilnya pun sangat memukau. 

Pada era 1970-an, Guruh Gipsy pernah membuat terobosan melalui satu-satunya album self-titled yang mereka rilis pada 1977. Musik tradisional Bali yang eksotis dan dinamis mereka gabungkan dengan pengaruh dari band-band art rock pada era itu. Unsur-unsur etnis musik Pulau Dewata berpadu manis dengan riffing Heart of Sunrise (YES) di lagu Geger Gelgel dan nuansa And You And I (YES) pada lagu Indonesia Maharddhika. Beberapa part lagu Watcher of The Skies-nya Genesis bahkan diselipkan dalam bentuk paduan suara di lagu Janger 1897 Saka.

Memasuki era 80an, Karimata melabrak dominasi rock melalui sub-genre jazz, fusion, yang disilangkan dengan elemen musik etnis. Album Pasti (1985), Lima (1987), dan Biting (1989) menjadi ikon generasi muda kala itu sekaligus menjadi lagu wajib para pemuja musik jazz di hampir setiap sudut Kota Jakarta. Adonan khusus yang bersemayam dalam lagu-lagu Chandra Darusman dkk patut dibanggakan.

Masih dari genre jazz. Gitaris kelahiran Bali, I Wayan Balawan memadukan musik modern, dalam hal ini jazz, rock, dan pop, dengan musik etnik Bali bersama grup yang dibentuknya pada 1997, Batuan Ethnic Fusion (BEF). Musik modern diwakili oleh permainan gitar elektrik Balawan plus alat-alat musik lain seperti drum, yang dimainkan para pemusik lain; sedangkan musik etnis Bali diwakili oleh permainan gamelan Bali. gloBALIsm merupakan karya rekam BEF yang mencengangkan.

Di ranah metal, Zi Factor mengibarkan genre tribalcore di mana di setiap barisan komposisinya dihujani elemen-elemen musik tradisional Indonesia. Dari scale etnis di part-part solo dan harmonisasi gitarnya, riff-riff rhythm-nya sampai beat dan groove di ketukan drumnya. Bagi Zi Factor, menyilangkan musik etnis dengan musik modern dalam album Kill Paradigm (2007) dan A Testament of Rage (2017) jauh lebih gila ketimbang hanya menggabungkan sub-sub genre metal modern semata. Mereka juga merasa tertantang menciptakan karya metal Indonesia yang berkelas internasional.

Di area rock instrumental, gitaris asal Bogor, Dede Aldrian membuktikan kepiawaiannya dalam meramu komposisi instrumental sekaligus menggoreskan stigma ‘etnik’ melalui album Voice Of Ethnic (2015). Nuansa etnik Sunda yang dikawinkan dengan polesan rock modern hasil eksekusi Dede benar-benar menghasilkan barisan komposisi unik, identik sekaligus ciamik.

Berpartisipasi dalam gerakan pengabadian musik etnik tentu merupakan hal yang wajib diapresiasi. Di usia yang masih sangat muda, 20 tahun, Dede tidak berusaha mencari jati diri melalui jalur ‘mainstream’ ala kebanyakan gitaris metal. Sebaliknya, ia fokus menggaungkan musik ‘tak lazim’ asal daerah kelahirannya, Jawa Barat, dengan segala tingkat keunikannya.

Andai musik etnis Indonesia bisa menjadi merek dagang musik lokal yang mampu mengekspansi dunia--meski dipadupadankan dengan berbagai unsur musik modern--bukan tidak mungkin kita bisa menyamai Korea Selatan dan Jepang. Mampu bersaing dalam bidang budaya di kancah global sebagai respons atas hegemoni budaya Barat dan westernisasi. Lho, siapa tahu kan?

Baca Juga : Karena Mereka, Musik Indonesia Naik Takhta

 

Tags : album musik
Rekomendasi