Kekalahan 1-2 yang diderita Indonesia atas Palestina di laga kedua fase Grup A cabor sepak bola putra Asian Games 2018 pada Rabu (15/8) lalu sempat menodai harapan para penggemar sepak bola Indonesia yang lagi haus sebuah trofi.
Bukan tanpa sebab. Di pertandingan pertama beberapa hari sebelumnya, Garuda Muda mampu menggilas Taiwan dengan skor telak 4-0 sekaligus memberikan asa besar kepada masyarakat Indonesia (bukan cuma penggemar sepak bola) untuk melihat timnas negaranya berjaya di kandang sendiri. Ya, Asian Games kali ini digelar di Jakarta dan Palembang.
Sejumlah pihak lantas menyalahkan pelatih Luis Milla--yang dalam laga kontra Palestina melakukan rotasi pemain--sebagai penyebab kekalahan Garuda Muda. Bagas Adi Nugroho, Gavin Kwan Adsit, Muhammad Hargianto, dan Septian David Maulana yang dalam laga melawan Taiwan tidak main sebagai starter, saat itu diturunkan. Luis Milla dianggap tak menghiraukan filosofi orang lawas yang berbunyi; 'Never change the winning team'.
Padahal dalam sepak bola era modern. Rotasi pemain dan perubahan formasi serta strategi kerap dilakukan. Manchester United 1998/1999 merupakan pionir dari rotasi di Liga Premier. Di tengah padatnya jadwal kompetisi yang diarungi, pelatih Sir Alex Ferguson menyiasatinya dengan membeli pemain untuk menambah kedalaman skuat, terutama di sektor penyerang. Hasilnya, di akhir musim Setan Merah meraih tiga gelar bergengsi.
Seharusnya ini juga berlaku buat skuat Luis Milla yang harus bermain setiap tiga hari di Asian Games. Dengan jumlah waktu persiapan yang terbatas, mantan pelatih timnas junior Spanyol ini tentu harus pintar-pintar merotasi pemainnya agar tetap bugar dan tampil baik. Tapi kok hasilnya malah jeblok? Konon, bola-bola pendek yang diperagakan saat melawan Taiwan berubah menjadi direct ball di laga kontra Palestina. Jangankan mencetak gol, mendapatkan peluang bersih saja sulit.
Tapi bagaimanapun, pelatih hanyalah peracik strategi dan pemberi instruksi. Pemainlah yang bermain dalam suatu pertandingan. Ketika skema yang dibuat oleh pelatih tidak bisa diejawantahkan oleh para pemain di lapangan, maka pelatih akan memberi instruksi. Jika instruksi yang diberikan tidak mampu mengubah permainan, maka pelatih akan mengganti pemain. Jika pergantian pemain belum juga memberikan hasil positif, bukan cuma pelatih yang harus disalahkan, tapi juga pemain. Karena yang memegang bola dan dan mencari peluang untuk mencetak gol adalah pemain.
Untunglah, di laga ketiga kontra Laos, Jumat (17/8) pelatih yang saat masih bermain berperan sebagai gelandang ini kembali memberikan kemenangan buat Indonesia meski tetap melakukan rotasi pemain. Hal ini dilakukan karena bek Bagas Adi Nugroho serta winger Irfan Jaya cedera. Tapi sekali lagi kami katakan, rotasi adalah hal yang lumrah. Yang diperlukan adalah konsistensi dalam konsep permainan. Tidak ada istilah pemain lapis pertama dan lapis kedua. Ini adalah para pemain terbaik yang dipilih berdasarkan proses seleksi. Dan kemenangan tentu saja menjadi harga mati di HUT ke-73 Republik Indonesia ini. Tidak ada alasan lain!
Hasilnya, Garuda Muda menang 3-0 melalui dua gol Beto dan sebiji gol Ricky Fajrin. Tapi Garuda Muda tetap berada di posisi ketiga klasemen hasil dari dua kemenangan dan sekali kalah dengan enam poin. Sementara Palestina dan Hong Kong yang bermain imbang 1-1, masih berada di posisi pertama dan kedua dengan poin masing-masing delapan dan tujuh. Pekerjaan rumah masih banyak buat Luis Milla dan para penggawa Garuda Muda.
Di laga terakhir melawan Hong Kong, Senin (20/8), Garuda Muda berhasil menang. Irfan Jaya, Stefano Lilipaly dan Hanif Sjahbandi menyegel kemenangan 3-1 Indonesia sekaligus menerbangkan Garuda Muda ke puncak klasemen akhir Grup A dengan poin sembilan. Indonesia lolos ke babak 16 besar dan menghadapi salah satu peringkat tiga terbaik, Uni Emirat Arab (UEA).
Sialnya, di babak knock-out ini Indonesia tidak mampu memenangkan pertandingan. Dari sisi permainan, Garuda Muda sesungguhnya mampu meladeni lawannya dengan memaksakan hasil imbang 2-2 di waktu normal melalui gol Beto dan Lilipaly. Tapi dalam drama adu penalti, dua pemain Indonesia; Saddil Ramdani dan Septian David Maulana gagal menjadi eksekutor. Indonesia kalah 3-4.
Sejak menahkodai timnas Indonesia, Luis Milla memang memiliki rapor merah saat melawan tim Semenanjung Arab. Tercatat, dari lima pertandingan, Indonesia tidak sekali pun meraih kemenangan. Lawan Suriah 2-3 dan 0-2, kontra Bahrain 0-2, versus Palestina 1-2 dan kini menghadapi UEA 3-4 (2-2).
Lalu, apakah memecat Luis Milla merupakan solusi tepat untuk membuat Tim Garuda lebih baik di masa mendatang? Harapan memang selalu ada, tapi cara instan bukanlah solusi jitu. Membangun tim sepak bola bukan seperti cerita legenda Sangkuriang yang harus membuat perahu dalam waktu satu malam. Atau kisah Roro Jongrang yang minta dibuatkan seribu candi juga dalam waktu super singkat.
Mau mengganti Luis Milla dengan salah satu dari dua pelatih fenomenal; Zinedine Zidane (peraih hat-trick Liga Champions bersama Real Madrid) atau Didier Deschamps (peraih trofi Piala Dunia 2018 bersama Prancis) pun sepertinya Indonesia memang sulit berjaya. Untuk urusan sepak bola, Indonesia (mungkin) bukan pilihan Tuhan.
Baca Juga : Eks Bek Fiorentina Terjerat Kasus Iklan Seks Palsu