Menggandeng aktor jagoannya di film La La Land (2016): Ryan Gosling (Neil Armstrong), Damien berhasil menggambarkan bagaimana tekanan demi tekanan menyerang Armstrong dalam satu dekade kehidupan jelang perjalanannya menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di bulan lewat program Apollo 11. Dan seperti Whiplash (2014) juga La La Land, pendekatan drama yang dituturkan Damien begitu memancing emosi.
Damien mampu menggambarkan kondisi psikologis Armstrong dengan sangat apik. Lewat kematian sang anak, Karen Armstrong akibat tumor ganas, misalnya. Damien berhasil mengarahkan penulisan --yang dilakukan Josh Singer-- dengan penggambaran yang amat detail lewat catatan-catatan harian soal perkembangan kondisi kesehatan sang anak yang jadi refleksi betapa mengkhawatirkannya kondisi sang anak di kepala Armstrong.
Selain itu, kegagalan demi kegagalan yang dialami para astronot dalam proyek Gemini pun berhasil dijahit menjadi sebuah pertalian yang sangat apik menggambarkan tekanan terhadap Armstrong jelang Apollo 11. Atau lewat arahan sinematografi yang juga berhasil membawa penonton hanyut dalam besarnya tekanan terhadap para astronot yang terlibat dalam proyek-proyek antariksa NASA, baik dalam Apollo 11 maupun proyek-proyek Gemini sebelum Apollo 11 diluncurkan.
Bayangkan, alih-alih menampilkan gambaran interaksi pesawat luar angkasa dengan atmosfer --yang dalam film antariksa lain biasa digambarkan dengan gumpalan atau percikan api-- pada adegan ketika pesawat Armstrong melintasi lapisan pelindung bumi itu, sang sinematografer Linus Sandgren malah menampilkan gambar para astronot di dalam kokpit sempit pesawat luar angkasa yang membawa mereka.
Dan, keputusan Linus menggunakan begitu banyak teknik close-up ekstrem dalam adegan-adegan semacam itu berhasil menggambarkan dengan baik bagaimana mengerikannya berada di dalam sebuah pesawat luar angkasa untuk sebuah proyek yang amat asing bagi umat manusia ketika itu. Detail-detail seperti perlengkapan penerbangan dan pesawat yang enggak terlihat canggih --bahkan cenderung usang untuk teknologi masa kini-- yang barangkali jadi gambaran nyata dari kondisi tahun 60-an yang jadi latar waktu cerita pun berhasil menambah ketegangan.
Dari sisi tata suara, seperti biasa, Damien berhasil menampilkan teknik scoring yang sangat apik. Jauh lebih sederhana dari La La Land atau Whiplash yang memang merupakan film dengan kekentalan musik dan olah suara, First Man mampu menempatkan setiap suara yang masuk ke dalam adegan-adegan film dengan sangat baik. Dan bagian-bagian paling berkesan dari formulasi scoring yang diterapkan Damien dan Ai-Ling Lee sebagai sound designer adalah 'ramuan bising-senyap' yang kerap ditampilkan untuk menggambarkan bisingnya ruang kemudi pesawat dan senyapnya semesta angkasa luar. Sesaat, Interstellar yang bising (2014) dan Gravity yang senyap (2013) terasa jadi bagian penting yang dihadirkan dalam formulasi scoring First Man.
Linus Sandgren dan Damien Chazelle (Sumber: IMDB)
Lupakan konspirasi
Rasanya, ada sebuah pesan penting agar kita bisa menikmati First Man sebagai sebuah karya film yang utuh. Kuncinya adalah melupakan konspirasi. Saya melakukannya, berupaya melupakan bahwa adegan ke bulan yang digembar-gemborkan Amerika Serikat enggak lebih dari sebuah karya film seorang sutradara pemabuk sebagaimana digambarkan dalam film Moonwalkers (2015) garapan Antoine Bardou-Jacquet.
Konspirasi soal 'Star Wars' antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam proyek Apollo 11 memang amat menarik. Bahkan, ketika dijadikan sebuah karya fiksi komedi ala Moonwalkers. Rupert Grint berhasil menjadi benang merah yang mengaduk-aduk kisah fiksi liar Antoine menjadi sebuah film yang penuh pertentangan terhadap kesejatian sejarah Apollo 11.
Nah, jika Moonwalkers jelas sebuah fiksi, First Man seenggaknya memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap kebenaran sejarah. Kisah First Man diadaptasi dari buku First Man: The Life of Neil A Armstrong yang digarap oleh James R Hansen. Sejumlah perdebatan pun muncul usai film ini dilempar di layar-layar bioskop dunia. Banyak orang menganggap film First Man sebagai pesan anti-Amerika Serikat karena Damien enggak menampilkan adegan penancapan bendera Amerika Serikat di permukaan bulan.
Namun, hal ini sudah dijawab langsung oleh Gosling. Menurutnya, film ini memang sejak awal diciptakan untuk menggambarkan pencapaian Armstrong sebagai umat manusia, bukan pencapaian Amerika Serikat sebagai sebuah negara. Dalam sebuah konferensi pers, Gosling mengatakan, ia meyakini 'gerakan moonwalk' Armstrong adalah gambaran dari keberhasilan umat manusia, bukannya keberhasilan Amerika Serikat.
"Secara luas (Armstrong) dianggap bukan sebagai orang Amerika, tetapi sebagai pencapaian manusia ... Saya tidak berpikir Neil memandang dirinya sebagai pahlawan Amerika, justru sebaliknya," tutur Gosling.
Komentar ini kemudian turut memancing dukungan untuk First Man. Menurut para kritikus, keputusan tim First Man untuk meniadakan bendera Amerika Serikat bukanlah sikap anti-Amerika Serikat. Keputusan ini sejatinya lebih patut dipuji karena Damien dan tim berhasil menggambarkan Armstrong sebagai sosok yang lebih besar, bukan cuma pahlawan Amerika Serikat, tapi juga pahlawan bagi umat manusia kala itu.
Adaptasi sebuah buku --apalagi buku yang memiliki nilai sejarah, apalagi sejarah yang diliputi banyak teori konspirasi-- menjadi sebuah film memang enggak pernah mudah. Damien bersama Singer harus mencari berlian di tengah ladang emas, mencari kisah-kisah terbaik dan merajutnya menjadi seuntai kalung yang indah.
Damien sejatinya cukup berhasil, meski First Man tetap meninggalkan kesan membosankan di sejumlah adegan. Yang jelas, First Man adalah sebuah film yang amat apik, digarap dengan rapi dan solid. Meski enggak sekeren Whiplash dan La La Land, First Man nyatanya tetap karya Damien yang ikonik, yang mampu menghadirkan sebuah sudut pandang lain dari kisah-kisah film yang mengangkat tema perjalanan antariksa lainnya.
-
Lounge19 Oct 2018 19:58
First Man: Aksi Heroik Neil Armstrong Menapaki Bulan