Keagungan Spiritualitas Kebangsaan dalam Musik Gombloh

| 09 Jan 2019 21:14
Keagungan Spiritualitas Kebangsaan dalam Musik Gombloh
Ilustrasi (era.id)
Jakarta, era.id -  Mendengar karya-karya Gombloh adalah mengunyah rumput selokan sebagai lalap, yang disirami saus paling mahal ramuan koki terbaik dari Istana Presiden. Begitulah kira-kira gambarannya. Gombloh adalah gelandangan, tapi juga pemberi kehidupan. Ia adalah seniman sejati, patriot tulen, sekaligus peramal paling sakti. Seorang genius yang aduhai amat mengagumkan.

Suatu hari yang telah lampau, di tengah kesadaran mahatinggi, saya pernah terisap ke dalam sebuah balada yang Gombloh mainkan bersama Lemon Tree's Anno '69. Seluruh perjalanan itu diberi nama Nadia & Atmospheer. Sejak itu, album musik rilisan tahun 1977 itu menjadi salah satu album musik terbaik yang pernah saya dengar di sepanjang hidup saya, dibuai sempurnanya konsep tonil rock --gabungan musik rock dan sandiwara-- serta bayang-bayang kebesaran Gombloh sebagai sang genius.

Seluruh tracklist disusun seperti titian anak tangga yang membawa setiap pendengarnya ke dalam perjalanan spiritual paling agung, perlahan-lahan mencapai puncak spiritualitas tertinggi. Perjalanan dimulai di Surabaya, saat Gombloh menyapa siapapun yang ingin ikut dalam perjalanannya lewat lagu Lepen (Lelucon Pendek), salah satu karya jenaka paling legendaris dan berpengaruh.

"Kalau cinta melekat, tai kucing rasa cokelat," begitu celoteh Gombloh menggambarkan rasa cinta.

Di nomor-nomor berikutnya, Gombloh menyajikan Merah & Putih Bersilang Di Mukaku, disambung dengan Nadia & Atmospheer, Kereta Itu Berangkat pk.4.30, Ironi, hingga Kemarau Panjang yang jadi penutup dari bagian pertama (side A) perjalanan ini. Nomor-nomor selanjutnya, Gombloh menyajikan keajaibannya lewat Gaung Mojokerto-Surabaya, Tetralogi Fallot, Sillhouet Kuda Jantan, serta menyampaikan ramalan soal ambisi pembangunan gedung dan industrialisasi yang terjadi hari ini lewat Hijau Mencekam. 

Selanjutnya, Bencana '76 jadi pengingat, tentang berbagai bencana yang jadi konsekuensi dari ambisi dan nafsu membangun umat manusia. Setelahnya, Senandung Pengemis Tua Seharga 5 Rupiah tersaji miris, mengetuk nurani manusia, sebelum mencapai titik akhir perjalanan di alam folk rock paling sadis lewat lagu berjudul Dimensi Antar Ruang, lewat pertemuan Gombloh dengan makhluk asing bernama alien, di mana Gombloh mencurahkan isi hati soal garis ironi negeri kepada sang alien, sekaligus menumpahkan isi kepalanya, bertanya soal kehidupan di angkasa luar.

Apakah negara di sana berbentuk republik?

Apakah di sana ada komersialisasi?

Apakah di sana demonstrasi?

Apakah di sana demokrasi?

Apakah di sana ada prostitusi?

Yang terang, negaraku adalah negara republik

Dan aku bangga padanya

Aku cinta Indonesia

Tai kucing rasa cokelat

Meminjam kacamata Gombloh sebagai tempat bercermin barangkali mulai perlu dilakukan banyak anak negeri hari ini. Di satu sisi, Gombloh adalah jelata paling hina. Bukan berarti hidupnya melarat, tapi dari titik paling rendah itulah Gombloh melihat negeri ini bekerja. Tapi, pemikiran dan kegeniusan Gombloh, biar bagaimanapun melebihi ribuan bangsawan. Ya, begitulah gambaran Gombloh, seperti kutipan lirik Lepen: Tai Kucing Rasa Cokelat.

Gombloh lahir di Jombang pada 14 Juli 1948. Lahir dengan nama Soedjarwoto Soemarsono, Gombloh berojol di urutan keempat, di atas dua adiknya yang belakangan lahir. Nama Gombloh sendiri diberikan oleh sang ayah. Gombloh berarti tolol atau bodoh. Tapi, tentu saja Gombloh bukan tolol betulan, sekalipun belakangan Gombloh memilih jalan hidup sebagai seniman dan meninggalkan bangku kuliah di Jurusan Arsitektur Institut Teknik Sepuluh Nopember, Surabaya.

Lari dari Surabaya, Gombloh terdampar di Pulau Dewata. Di sana ia hidup sebagai bohemian, hingga bertemu dengan rekan-rekan geniusnya yang lain di Lemon Tree's Anno '69. Dan Nadia & Atmospheer jadi debut mengagumkan buat Gombloh. Segala keajaiban yang dimunculkan, baik dari segi lirik ataupun musikalitas, berhasil membawa Gombloh menjadi salah satu musisi dan seniman paling disegani di daratan Nusantara.

Bersama Lemon Tree's Anno '69, Gombloh menelurkan sepuluh album. Sepanjang masa itulah Gombloh berkarya dengan idealisme sejatinya, sebelum memasuki era-era lanjutan di mana Gombloh dan musiknya berevolusi secara menarik dan natural. Awal perubahan musik Gombloh terjadi ketika Leo Kristi dan Franky Sahilatua --dua rekan di Lemon Tree's Anno '69-- memilih hengkang.

Memasuki dekade '80-an, arah musik Gombloh mulai berevolusi ke arah orkestral rock nan populis. Pada dekade ini jugalah Gombloh akhirnya terseret arus komersialisasi. Nama besar Gombloh sebagai musisi pada akhirnya jadi alasan kompromis pria nyentrik itu menyelami industri komersil. Sejak itu, Gombloh mulai sering mencipta karya-karya populis yang lebih diterima masyarakat. 

Gombloh pun mulai menulis lagu-lagu bertema pop untuk penyanyi-penyanyi lain, seperti Tyas Drastiana hingga Vicky Vendi. Menariknya, Gombloh pernah menuturkan prinsip bisnisnya dalam perkara ini. Kata Gombloh, ia justru memasang tarif mahal untuk lagu yang mudah dibuat --lagu-lagu populis-- ketimbang lagu-lagu yang lebih sejalan dengan selera musiknya yang sejati yang memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi. Buat Gombloh, kepuasan batin tetap berada di atas segalanya.

Dan hari ini, kita akan mengingat seorang sosok yang amat istimewa, di hari ketika ia meninggal pada 9 Januari 1988 di usia 39 tahun akibat penyakit di paru-parunya. Beristirahatlah dengan tenang, Tuan Soedjarwoto. Serahkan perkara bangsa ini pada penerusmu, segala anak negeri yang berutang banyak pada dedikasimu.

Tags : album musik
Rekomendasi