Lalu apa sebenarnya fase new normal? Sosiolog UIN Tantan Hermansyah mengatakan pola hidup normal yang baru adalah kondisi baru yang harus diterima karena faktanya kita, sebagai manusia tidak bisa menetap di suatu keadaan dalam jangka waktu yang lama atau establish.
New normal, kata dia, tadinya disebabkan oleh keadaan anomali dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan anomali akibat COVID-19 itu seperti budaya memakai masker jika keluar rumah dan bertemu orang-orang, menjaga jarak atau physical distancing, dan sering cuci tangan.
"Hal-hal ini tadinya kita anggap sebagai anomali, tetapi, secara nyata, kita harus menerimanya dengan lapang dada," kata Tantan kepada era.id, Rabu (13/5/2020).
Fase new normal sebenarnya sudah mulai diterapkan melalui pelaksanaan PSBB, tapi dengan kurang terasa efeknya karena tak dibarengi dengan ketegasan pemerintah dalam penerapannya.
Soal kesiapan masyarakat dengan pola hidup normal yang baru ini, menurutnya, masyarakat belum siap sepenuhnya untuk menerima apalagi menjalankan fase new normal karena faktor ekonomi.
"Kenapa? Karena ekonomi kita dikontribusi oleh aktivitas pergerakan manusia. Coba lihat, mereka yang tinggal di Bogor, kerja di Jakarta Barat. Ada berbagai pihak yang diuntungkan dengan jauhnya jarak tersebut kan. Seakan-akan, kalau tidak bergerak, maka kita tidak akan mendapatkan rezeki," tambahnya.
Karena pemerintah terlalu sibuk memerangi COVID-19 dan hanya 'menyuruh' warga untuk siap-siap menjalani kehidupan 'normal yang baru', maka Tantan menganjurkan baiknya masyarakat menjalani saja tanpa perlu memahaminya.
"Ini berkaitan dengan berubahnya paradigma kehidupan. Mungkin tidak perlu dipahami juga, jalani saja. Nanti juga kita akan menemukan jawabannya sambil bergumam 'oh, begitu, oh, harus begini'," tutur Tantan.
Berdamai Dengan COVID-19?
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo bahkan sempat mengatakan agar masyarakat hidup berdampingan dengan virus paling menular di dunia tersebut.
Tantan mengatakan, ucapan Jokowi itu dapat diartikan bahwa pemerintah sedang mengajak warganya untuk memasuki era baru itu. Era yang tidak bisa dihadapi secara biasa, akhirnya menerima.
"Presiden Jokowi mengajak kita berdamai dengan korona adalah ajakan bahwa kita harus menerima keadaan ini," katanya.
Namun, secara kritis pernyataan Jokowi harus dipahami dan dibaca dalam beberapa cara pandang. Pertama, pemerintah sudah kehabisan cara untuk mengelola pandemi ini. Sehingga cara terakhir adalah menerimanya saja.
Kedua, pemerintah sedang mempersiapkan skenario baru yang jauh lebih strategis untuk mengelola peristiwa pandemi ini agar bisa memetik keuntungan bagi pembangunan masyarakat Indonesia.
"Terakhir, pemerintah sedang memanfaatkan momen pandemi ini untuk melakukan perubahan sosial berskala besar karena akan menyangkut berubahannya sistem, tatanan kehidupan, bahkan paradigma baru," pungkasnya.
Tapi, bukankah lebih baik berdamai daripada menyerah?