Merenungi Hari Bahasa Ibu

| 21 Feb 2018 05:37
Merenungi Hari Bahasa Ibu
Grafis (era.id)
Jakarta, era.id - International Mother Language Day atau Hari Bahasa Ibu Internasional selalu diperingati pada tanggal 21 Februari setiap tahunnya. UNESCO resmi menetapkan hari bahasa ibu pada tanggal 17 November 1999. Peristiwa ini berasal dari pengakuan internasional terhadap hari gerakan bahasa yang dirayakan di Bangladesh.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia banyak menyimpan ragam bahasa. Penelitian dari Badan Bahasa Kemendikbud periode 1991-2017 mencatat bahasa yang telah diidentifikasi dan divalidasi sebanyak 652 bahasa dari 2.452 daerah pengamatan.

Berdasarkan persebaran bahasa daerah per provinsi, terdapat 733. Masih ada bahasa yang belum teridentifikasi dan tervalidasi di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Sementara, bahasa yang sudah punah menurut data dari UNESCO Atlas of the World’s Language in Danger seperti dilansir dari situs unesco.org, terdapat 10 bahasa yang sudah punah, yakni Hukumina, Kayeli, Moksela, Naka'ela, Nila, Palumata, Piru, Te'un (Maluku), Mapia dan Tandia (Papua). 

Sedangkan, bahasa yang terancam punah, menurut UNESCO terdapat 137 bahasa. UNESCO membagi kategori bahasa yang terancam punah menjadi 4 kategori yaitu vulnerable sebanyak 57 bahasa. defenitely endangered sebanyak 31 bahasa, severely endangered sebanyak 19 bahasa, dan critically endangered sebanyak 30 bahasa.

(Infografis: era.id)

Austin dan Sallabank (2011) dalam bukunya The Cambridge Handbook of Endangered Languages menjelaskan, kepunahan bahasa dapat disebabkan beberapa faktor diantaranya:

1. Faktor ekonomi: Misalnya, kemiskinan di pedesaan yang menyebabkan terjadinya urbanisasi.

2. Faktor dominasi budaya oleh masyarakat mayoritas: Misalnya, pendidikan dan kepustakaan yang hanya menggunakan bahasa mayoritas atau bahasa negara; akibatnya, bahasa daerah menjadi terpinggirkan.

3. Faktor politik: Misalnya, kebijakan pendidikan yang mengabaikan atau mengecualikan bahasa daerah, kurangnya pengakuan atau representasi politik, atau larangan penggunaan bahasa minoritas dalam kehidupan masyarakat.

4. Faktor sejarah: Misalnya, penjajahan, sengketa batas wilayah, atau naiknya satu kelompok berikut ragam bahasanya menjadi dominansi politik dan budaya.

5. Faktor sikap: Misalnya, bahasa minoritas diasosiasikan dengan kemiskinan serta buta huruf dan penderitaan, sementara bahasa mayoritas dikaitkan dengan kemajuan. (Ramdan Febrian)

Rekomendasi