Anggaran Dana Riset Nasional yang ditetapkan pada APBD 2018 sebesar Rp24,9 triliun. Selintas, angka ini terlihat besar. Tapi sayangnya, angka itu kecil karena tersebar di berbagai kementerian. Khusus Kemenristekdikti, ada alokasi sebesar Rp41,3 triliun yang diperuntukan bagi keseluruhan aktivitas kementerian.
Kemenristekdikti menganggarkan biaya riset dan inovasi ‘hanya’ sebesar Rp1,7 triliun atau sekitar 4,2 persen dari total anggaran yang diterima. Angka tersebut sebenarnya naik tipis dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp1,4 triliun.
Selain persoalan anggaran yang minim, dunia riset di Indonesia juga masih menghadapi persoalan lain. Optimalisasi peneliti dalam menghasilkan karya yang sesuai dengan Prioritas Riset Nasional (2017-2045) dan upaya untuk terus menggenjot publikasi internasional.
Dalam hal publikasi internasional, sejatinya, sejak 2014 data lansiran Ditjen Risbang Kemenristekdikti menunjukan peningkatan iuaran publikasi internasional (buku maupun jurnal). Berturut-turut sejak 2014 hingga 2017, peneliti Indonesia telah mempublikasikan 6.425 judul, 7.823 judul, 11.152 judul dan lebih dari 14.200 judul. Angka tersebut membuat Indonesia duduk di peringkat ketiga ASEAN, di bawah Malaysia (20.000-an judul) dan Singapura (15.000-an judul) per 2017.
Indonesia memiliki rapor yang cukup buruk dalam bidang riset dan pengembangan. Tercatat dalam laporan Global Innovation Index 2017, dari 127 negara Indonesia menempati posisi ke-82. Singapura menduduki posisi tujuh besar, sementara Jepang di posisi ke-14 dan Korea Selatan berada di posisi ke-11.
Laporan ini lebih mengungkapkan tendensi sebuah negara dalam melakukan riset dan pengembangan. Dari sini terlihat, minat Indonesia dalam melakukan riset dan pengembangan sangat kecil. Walaupun anggaran dan dana memang selalu menjadi polemik, tetapi ada faktor lain yang semestinya diperhatikan. Yaitu minat terhadap riset dan pengembangan, serta budaya berinovasi yang belum dimiliki Indonesia.
Kita ambil contoh Israel yang memiliki minat paling tinggi dalam bidang riset dan pengembangan dengan alokasi dana 4,27 persen dari pendapatan produk domestik brutonya lewat program pemerintah sejak 1993, Yozma. Melalui program ini pemerintah Israel berani berinvestasi besar-besaran untuk akselerasi perusahan lokal skala kecil. Mereka juga menyediakan asuransi penuh bagi para calon investor demi menarik minat berinvestasi.
Pada 2001, pemerintah Korea Selatan dan Israel untuk pertama kalinya mendirikan pusat riset dan pengembangan Samsung di luar Korea Selatan, yakni di dua kota di Israel; Herzliya dan Ramat Gan. Pusat riset dan pengembangan tersebut bergerak di bidang pengembangan teknologi kamera dan teknologi semikonduktor.