Jakarta, era.id - Membentuk sebuah band--apapun genrenya--adalah hak semua orang. Tapi ketika saya mendengar kabar Vicky Prasetyo punya band metal bernama Kudeta, seketika saya mengernyitkan dahi sambil bertanya dalam hati, "Sensasi konyol apa lagi yang mau dibikin orang ini?"
Saya sama sekali tidak merendahkan selera pria yang dikenal dengan 'Vickynisasi' ini. Berdasarkan beberapa sumber, selera musik Vicky terbilang mewah. Mulai dari Burgerkill, Seringai sampai Caliban disebut-sebut sebagai barisan band yang meracuni aliran darah pria yang satu ini.
Tapi sepertinya Vicky tidak sedang mencurahkan ide-ide yang tidak tersampaikan di 'rumah' utamanya. Wong, rumah utamanya bukan di bidang musik, kok. Vicky juga tidak sedang mencari uang. Selain scene metal bukan lumbung uang, dia sudah memiliki keran uang utama di berbagai bidang yang digelutinya--hasil kekonyolon dia dan bantuan pihak-pihak yang membuatnya ngetop di media sosial.
Vicky nampaknya lebih ke mencari sensasi dan menjadikan musik metal sebagai komoditas. Ya, komoditas yang bisa mendongkrak popularitasnya semakin 'tinggi' lagi. Kalau cuma naik panggung dan teriak-teriak, siapa saja bisa. Tapi eksis bertahun-tahun dan melahirkan karya secara konsisten, apakah dia bisa? Saya ragu. Dari sisi ini saja, esensi musik metal sudah dibunuh secara perlahan.
Metalhead sejati memainkan musik metal dengan hati dan jiwanya. Pilihan mereka menggeluti musik metal bukan karena ingin ngetop. Dan bukan pula karena ingin punya uang berlimpah. Metal adalah sebuah jati diri yang memberikan kepuasan dalam wujud lain. Jika kemudian menghasilkan uang, maka itu adalah reward bagi jerih payah mereka.
Metalhead yang menggelinding di jalur bawah tanah (underground) dan memegang falsafah D.I.Y (Do It Yourself) secara 'kaffah', bekerja keras dari nol, dan tanpa batas. Intinya, memiliki totalitas. Bukan seperti 'Vickynisasi' yang memanfaatkan kepopuleran konyolnya selama ini.
Tapi saya tidak akan membahas Vicky Prasetyo dan Kudeta-nya terlalu dalam. Jauh lebih elok jika saya berbagi informasi seputar alasan para musisi metal sejati yang memilih meluncur di jalur bawah tanah--dalam hal ini musik metal--yang notabene 'tidak menghasilkan uang'. Kalau bukan karena rasa cinta, apa ada alasan lain?
Sejumlah pentolan band metal Indonesia secara blak-blakan mengungkapkan kepada saya, bermain di lingkaran underground memang kurang menjanjikan dari sisi finansial. Tapi, kata mereka, jika pintar menyiasatinya, tetap bisa bertahan hidup. Bagaimana caranya? Saya akan membahasnya dalam tulisan ini.
DeadSquad (Foto: Wandy Ramadhan)
Gitaris DeadSquad (DS), Stevi Item pernah bilang, untuk memproduksi album pertama, Horror Vision (2009) saja DS harus mengeluarkan uang dari kantong para personelnya. Menurut pria yang akrab disapa Tepi, untuk kepuasan sendiri harus dari kocek sendiri. Kendati saat itu kurang menguntungkan, namun sekarang mereka sudah 'balik modal'. Bahkan lebih!
Tepi mengajak siapa pun yang sudah menjadikan musik metal sebagai falsafah hidupnya untuk tidak takut berjuang di jalur bawah tanah. Ketidaktakutan Tepi terbukti dari sikapnya yang tidak pernah ‘pilih-pilih’ panggung saat pertama kali band ini terbentuk. Imbasnya, sekarang, setiap kali mendapat job di pensi (pentas seni) sekolah, Tepi mendapat bayaran yang lebih tinggi ketimbang yang didapatkannya dari Andra and the Backbone, band sampingannya.
Senada dengan Tepi, gitaris band grindcore Noxa Ade Himernio menegaskan, bermain di jalur bawah tanah jauh lebih memuaskan ketimbang bermain di 'permukaan'. Selain bisa memainkan musik dengan lebih lepas dan bebas, musik yang dihasilkan juga jauh lebih jujur. Memang, lanjutnya, jalur bawah tanah kurang menjanjikan dari sisi finansial tapi seiring makin pesatnya perkembangan komunitas underground dunia, scene ini akhirnya bisa menghasilkan uang. Merchandise yang Noxa jajakan di setiap acara panggung mereka, selalu ludes dibeli para penggemarnya.
Selain dari penjualan merchandise, mereka juga mendapatkan royalti yang cukup besar dari album kedua Grind Viruses (2006) yang dirilis via label rekaman Finlandia, Stay Heavy Record. Para personel Noxa juga menyiasati minimnya pendapatkan yang diraih dari jalur underground dengan tetap memiliki pekerjaan di luar band. Itulah mengapa seluruh biaya produksi album-album Ade dkk kini sudah 'balik modal' meski harus menunggu hingga 1-2 tahun.
Rio Baskara, gitaris band metal asal Solo Down For Life juga menjelaskan, bentuk kepuasan yang dia dapatkan selama eksis di jalur underground sangat banyak. Namun yang pasti, bukan dalam bentuk uang. Rio bahkan secara ekstrem mengatakan, adalah kesalahan ketika orang memainkan musik metal dengan tujuan mendapatkan banyak uang. “Kalau mau dapat uang banyak, ya bekerja!” tegasnya.
Karena menurutnya, bermusik adalah kesenangan hati. “Ya, kalau akhirnya dapet uang dari bermusik menurut saya itu adalah bonus," tandasnya.
Rio juga menekankan pentingnya memiliki pekerjaan utama di luar bermain musik. Menurutnya, menjadi musisi metal di Indonesia, meski dengan segudang prestasi, belum bisa dijadikan tumpuan menggapai kehidupan di masa depan. Ia juga mengajak para pelaku musik underground untuk bersosialisasi dan saling berinteraksi demi menjaga eksistensi mereka di dunia bawah tanah. Lanjut Rio, jaringan di musik metal sangat kuat. Selama para pelakunya bersosialisasi dengan baik, semakin mereka bisa survive di scene ini.
David Salim gitaris band death metal asal Medan Djin juga memiliki alasan sendiri mengapa dia memilih berkutat di jalur underground. Menurutnya, selain jenis musik ekstrem yang dimainkannya akan selalu lahir dan tumbuh, bermusik di jalur underground juga memberi pengalaman tersendiri bagi musisi yang cenderung lebih menerapkan konsep D.I.Y.
Di samping menuangkan idealisme bermusik dan mengekspresikannya di atas panggung, sambung David, di jalur underground, musisi juga dilatih untuk terlibat lebih jauh lagi. Mulai dari cara berpromosi, pendistribusian hingga faktor pendukung lainnya seperti merchandising. Hal-hal semacam inilah yang membuat jalur bawah tanah terdengar lebih menantang dan menarik dijalani.
Lalu dari mana David dan Djin mendapatkan uang? Saat masih tahap merintis, Djin pernah bermain tanpa bayaran dan bahkan harus men-cover sendiri seluruh biaya transportasi dan akomodasi setiap kali manggung. Perlahan tapi pasti, seluruh biaya kini ditanggung oleh pihak penyelenggara. Penjualan album perdana mereka, The Era of Destruction (2012) juga diakui David terbilang cukup memuaskan. Meski untuk urusan balik modal tidak seperti DeadSquad dan Noxa, tapi Djin berhasil menutupinya dengan penjualan merchandise. “Walaupun tipis, namun sejauh ini masih stabil," tukas David.
Dari uraian pentolan-pentolan metal di atas, saya menyimpulkan beberapa poin penting; semua hal membutuhkan proses untuk mencapai titik puncak, bekerja sesuai hati nurani adalah jalan terbaik agar bisa menjalankan profesi dengan baik, memanfaatkan peluang yang ada merupakan strategi jitu agar tidak tergerus situasi dan kondisi, berani mencoba dan memperbaiki kekurangan adalah modal awal untuk menanamkan kepercayaan diri, dan keyakinan akan bagus tidaknya karya sendiri adalah modal utama untuk bisa meyakinkan orang-orang di lingkungan yang lebih luas bahwa barang dagangan yang kita jajakan layak dibeli.
Inilah metalhead sejati! Kalau Vicky?