ERA.id - Seluruh tersangka kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat (Brigadir J) menjalani pemeriksaan lie detector atau uji polygraph di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai pemeriksaan dengan metode lie detector kepada para tersangka kasus Brigadir J ini dilakukan Polri untuk melengkapi alat bukti.
"Kami menilai, apa yang dilakukan di dalam pemeriksaan barang bukti polygraph itu tentu ini bukan karena kekurangan barang bukti. Kami nilai ini melengkapi alat bukti. Atau untuk kepentingan penguatan pembuktian," kata anggota Kompolnas, Yusuf Warsyim saat dihubungi, Jumat (09/09/2022).
Diketahui, seluruh tersangka kasus pembunuhan Brigadir J, yakni Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bharada Richard Eliezer (Bharada E), Bripka Ricky Rizal (Bripka RR), dan Kuat Ma'ruf (KM) menjalani pemeriksaan lie detector. Selain para tersangka ini, satu saksi yang merupakan asisten rumah tangga Ferdy Sambo, yakni Susi, juga melakukan pemeriksaan lie detector.
Kembali ke Yusuf, dia mengatakan pemeriksaan dengan lie detector ini bukan karena penyidik menilai keterangan para tersangka janggal atau tidak konsisten. Yusuf menilai pemeriksaan dengan lie detector ini dilakukan penyidik untuk penguatan pembuktian di pengadilan nanti.
"Atau bisa juga ini merupakan petunjuk JPU, jaksa (untuk kelengkapan berkas/P21). Tapi itu kami tidak bisa menjelaskan karena itu ada pada kewenangan JPU dan penyidik. Tapi kami menilai itu menjadi komplementer, penguatan pembuktian nanti di pengadilan," katanya.
"Kami si menilai ini positif (pemeriksaan lie detector ini). Kalau memang ini, mengandai-andai ya, kalau memang petunjuk JPU, tentu pasti dipenuhi supaya berkasnya segera P21," sambungnya.
Lebih lanjut, Yusuf menerangkan pemeriksaan tersangka dengan metode lie detector diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 10 Tahun 2009. Pemeriksaan lie detector ini masuk ke dalam jenis fisika forensik.
Yusuf menerangkan pengujian polygraph menjadi alat bukti scientific crime investigation atau SCI. Alat untuk dilakukan pemeriksaan uji polygraph, sambungnya, harus memiliki tingkat akurasi 90 persen. Untuk alat yang dimiliki Polri sendiri, kata Yusuf, memiliki tingkat akurasi 93 persen.
Karena memiliki tingkat akurasi yang tinggi, Yusuf mengatakan hasil uji polygraph menjadi pro justitia.
"Memang berdasarkan KUHAP, Indonesia belum mengatur penggunaan lie detector atau pemeriksaan barang bukti polygraph, standarnya seperti apa, itu kan belum ada aturannya. Hanya Perkap sendiri melakukan itu sebagai bagian dari pembuktian scientific. Metode scientific crime investigation," ucapnya.
Lebih lanjut, Yusuf mengatakan uji polygraph yang dilakukan Polri ini bukanlah yang pertama kali dilakukan, atau saat kasus Brigadir J saja. Yusuf mengatakan pemeriksaan uji polygraph dilakukan sejak 1996 lalu.
"Karena memang syarat secara prosedural, penggunaan pemeriksaan polygraph ini harus persetujuan tersangka atau saksi," imbuhnya.
"Tapi sekali lagi saya tegaskan ini menjadi komplementer penguatan pembuktian. Apakah di pengadilan hakim akan menggunakannya, itu ada di kewenangan majelis hakim nanti di dalam putusan, apakah dia mempertimbangkan ini tentu nanti menjadi berkas tersangka, tentu nanti akan diperiksa," tutup dia.