Jadi Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Proyek PLTU, Adik Jusuf Kalla Diperiksa Pekan Depan

| 07 Nov 2025 08:05
Jadi Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Proyek PLTU, Adik Jusuf Kalla Diperiksa Pekan Depan
Halim Kalla (Dok. Haka Group)

ERA.id - Kortas Tipikor Polri menyampaikan empat tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 di Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar) akan dipanggil untuk diperiksa pada pekan depan.

Keempat tersangka itu adalah Dirut PLN periode 2008-2009, Fahmi Mochtar (FM); Presiden Direktur PT BRN, Halim Kalla (HK); Dirut PT BRN, RR; dan Dirut PT Praba, HYL.

"Sesuai surat panggilan tersangka, hari Selasa, tanggal 11 November 2025 tersangka FM dan tersangka RR (yang dipanggil)," kata Direktur Penindakan Kortas Tipikor Bareskrim Polri, Brigjen Totok Suharyanto kepada wartawan dikutip Jumat (7/11/2025).

"Hari Rabu, tanggal 12 November 2025 tersangka HK dan tersangka HYL (yang dipanggil)," sambungnya.

Totok menambahkan pihaknya belum mendapat konfirmasi keempat tersangka ini bakal memenuhi panggilan atau tidak. Dia hanya menyebut pemanggilan ini merupakan yang pertama dilakukan pasca penetapan tersangka dalam perkara itu. 

Sebelumnya, Kortas Tipikor menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar di kawasan Kabupaten Mempawah pada 2008-2018, yakni Fahmi Mochtar, Halim Kalla, RR, dan HYL.

Kakortas Tipikor Polri, Irjen Cahyono Wibowo membenarkan Halim Kalla adalah adik dari Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK).

"Jadi yang ditanyakan memang demikian, dan kalau saya melihat terkait rilis ini memang kami hanya inisial saja," kata Cahyono saat konferensi pers di kantornya, Senin (6/10).

Cahyono menjelaskan kasus berawal ketika PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan pembangunan PLTU 1 Kalbar dengan kapasitas output sebesar 2x50 MegaWatt pada 2008 silam.

Namun sebelum pelaksanaan lelang tersebut, PLN melakukan permufakatan dengan PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan PT BRN dalam lelang.

Pada 2009 sebelum dilaksanakan tanda tangan kontrak, KSO BRN mengalihkan pekerjaan kepada PT PI, termasuk penguasaan terhadap rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan kepada pihak PT BRN.

"Pada saat dilaksanakan tanda tangan kontrak pada tanggal 11 Juni 2009, pihak PLN belum mendapatkan pendanaan, dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan," jelasnya.

KSO BRN dan PT PI baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan hingga 28 Februari 2012. Sampai amandemen kontrak ke-10 yang berakhir pada 31 Desember 2018, KSO BRN maupun PT PI tidak mampu menyelesaikan pekerjaan, atau hanya mencapai 85,56 persen karena ketidakmampuan keuangan

Namun diduga ada aliran atau transaksi keuangan dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek ke para tersangka dan pihak lain

"Bahwa KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323.199.898.518 untuk pekerjaan konstruksi sipil dan sebesar USD62.410.523,20 untuk pekerjaan mechanical electrical," jelasnya.

"Total kerugian negaranya itu 62 (juta USD), totalnya itu sekarang (sekitar) itu Rp1,3 triliun ya kalau sekarang dengan kurs sekarang. Jadi (sekitar) Rp1,35 (triliun)," sambungnya.

Rekomendasi