Adik Jusuf Kalla Batal Diperiksa sebagai Tersangka Kasus Korupsi PLTU 1 Kalbar Hari Ini

| 12 Nov 2025 11:39
Adik Jusuf Kalla Batal Diperiksa sebagai Tersangka Kasus Korupsi PLTU 1 Kalbar Hari Ini
Ilustrasi polisi lalu lintas (ERA.id)

ERA.id - Kortas Tipikor Polri menyampaikan Presiden Direktur PT BRN, Halim Kalla (HK) tidak dapat memenuhi panggilan untuk diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 di Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar), Rabu (12/11/2025).

Selain Halim Kalla, penyidik turut mengagendakan memeriksa Dirut PT Praba, HYL. Sama seperti adik Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK) ini, HYL juga minta penundaan pemeriksaan.

"Untuk hari ini untuk tersangka HK dan HYL tidak datang karena keduanya mengajukan surat reschedule pekan depan. Tanggal 18 November untuk yang HYL dan tanggal 20 November untuk HK karena alasan sakit," kata Direktur Penindakan Kortas Tipikor Bareskrim Polri, Brigjen Totok Suharyanto kepada wartawan, Rabu (12/11/2025).

Pada Selasa (11/11) kemarin, penyidik menjadwalkan memeriksa dua tersangka lainnya dalam kasus ini, yakni Dirut PLN periode 2008-2009, Fahmi Mochtar (FM) dan RR selaku Dirut PT BRN. Tersangka RR memenuhi panggilan. 

 "Sedangkan tersangka FM tidak datang dengan mengajukan surat permohonan penundaan dengan alasan sakit pasca operasi," jelasnya.

Sebelumnya, Kortas Tipikor menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan PLTU 1 Kalbar di kawasan Kabupaten Mempawah pada 2008-2018, yakni Fahmi Mochtar, Halim Kalla, RR, dan HYL.

Cahyono menjelaskan kasus berawal ketika PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan pembangunan PLTU 1 Kalbar dengan kapasitas output sebesar 2x50 MegaWatt pada 2008 silam. 

Namun sebelum pelaksanaan lelang tersebut, PLN melakukan permufakatan dengan PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan PT BRN dalam lelang.

Pada 2009 sebelum dilaksanakan tanda tangan kontrak, KSO BRN mengalihkan pekerjaan kepada PT PI, termasuk penguasaan terhadap rekening KSO BRN, dengan kesepakatan pemberian imbalan kepada pihak PT BRN.

"Pada saat dilaksanakan tanda tangan kontrak pada tanggal 11 Juni 2009, pihak PLN belum mendapatkan pendanaan, dan mengetahui KSO BRN belum melengkapi persyaratan," kata Cahyono saat konferensi pers di kantornya, Senin (6/10).

KSO BRN dan PT PI baru menyelesaikan 57 persen pekerjaan hingga 28 Februari 2012. Sampai amandemen kontrak ke-10 yang berakhir pada 31 Desember 2018, KSO BRN maupun PT PI tidak mampu menyelesaikan pekerjaan, atau hanya mencapai 85,56 persen karena ketidakmampuan keuangan

Namun diduga ada aliran atau transaksi keuangan dari rekening KSO BRN yang berasal dari pembayaran proyek ke para tersangka dan pihak lain

"Bahwa KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323.199.898.518 untuk pekerjaan konstruksi sipil dan sebesar USD62.410.523,20 untuk pekerjaan mechanical electrical," jelasnya.

"Total kerugian negaranya itu 62 (juta USD), totalnya itu sekarang (sekitar) itu Rp1,3 triliun ya kalau sekarang dengan kurs sekarang. Jadi (sekitar) Rp1,35 (triliun)," sambungnya.

Rekomendasi