ERA.id - Aksi Bjorka membocorkan sejumlah data pejabat publik, direspons Pakar teknologi Informasi Universitas Gajdah Mada (UGM), Ridi Ferdiana.
Katanya, aksi Bjorka adalah hacktivisme yang dilatari kondisi sosial dan politik. Ridi bilang, pemerintah mesti membenahi keamanan siber negara secara bertahap.
“Terlepas benar atau tidaknya data bocor karena sistem siber Indonesia yang lemah atau social engineering, kejadian Bjorka adalah sinyal nyata berupa kritik membangun kepada pemerintah untuk berbenah diri dan mengatur ulang prioritas keamanan dan perlindungan privasi,” papar Ridi, Selasa (13/9/2022) malam.
Ridi menyebutkan, reskilling mutlak dilakukan agar sistem keamanan Indonesia disempurnakan. Banyak talenta Indonesia yang ahli di bidang keamanan siber dapat berkontribusi.
“Pemerintah juga harus selalu berkoordinasi secara rutin dengan para ahli di Indonesia untuk mengamankan data yang semakin banyak di tanah air,” imbuhnya.
Menurutnya, mengungkap Bjroka bukan pekerjaan mudah. Namun ada hal yang lebih penting dibandingkan dari itu, yaitu upaya pemerintah menjadi role model untuk berbenah diri dalam mengamankan dan menghargai data pribadi dan data publik.
Setelah kasus Bjorka mencuat wajib, pendaftaran PSE diperlukan, sehingga pemerintah menjadi role model dalam menjalankan sistem elektronik.
Hal ini harus mulai dibuktikan dengan berbagai sistem pemerintah yang memiliki kebijakan privasi, ketentuan keamanan data, dan kepatutan pada aturan keamanan data.
Selain itu, Ridi mengimbau individu agar mulai lebih peduli dengan pembagian data melalui platform media penyimpanan komputasi awan. Ia berharap publik bijak dalam membagikan berkas, data pribadi, foto di media sosial, atau pesan instan dan membatasi share link.
Ridi juga meminta untuk menghindari pengisian informasi secara sembarangan seperti pada survei, sistem informasi, maupun aplikasi yang belum jelas kebijakan privasinya.
"Tak kalah penting, kita mesti membuat password yang kuat atau sulit ditebak seperti dengan 8-12 karakter dan mengganti password berkala setiap 2-3 bulan. Tak kalah penting, mengaktifkan MFA (Multi Factor Authentication) untuk mempersulit peretas mengambil data pribadi Anda."
Ridi menyebutkan pemerintah saat ini harus lebih mawas diri bahwa aturan dan juknis mengenai keamanan data dan privasi data, harus segera diselesaikan.
“Peraturan pemerintah terkait UU ITE dikaji bersama dengan masyarakat dan belajar bagaimana negara lain mengadopsi perlindungan data privasi. Payung hukum menjadi mutlak ada untuk perlindungan data dan berperan sebagai mitigasi,” paparnya.