ERA.id - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkapkan enam faktor penyebab Sriwijaya Air SJ182 dengan rute penerbangan Jakarta-Pontianak mengalami kecelakaan di perairan Kepulauan Seribu pada 9 Januari 2021.
Ketua sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo mengatakan, pihaknya mengacu pada standar dari ICAO (International Civil Aviation Organization) Annex 13 dalam menyimpulkan faktor-faktor penyebab Sriwijaya Air SJ182 kecelakaan.
"Setelah kita melakukan analisa, maka kami membuat kesimpulan bahwa, KNKT menyimpulkan faktor yang berkontribusi pada kecelakaan ini ada 6 faktor," kata Nurcahyo dalam konferensi pers, Kamis (10/11/2022).
Pertama, tahapan perbaikan pada autothrottle belum mencapai bagian mekanikal. Sebelumnya ada laporan kerusakan pada autothrottle namun sudah diperbaiki. Hanya saja, sejumlah komponen yang diganti tidak sampai pada bagian mekaninkal.
Nurcahyo menjelaskan, jika ada satu sistem yang mengalami kerusakan, biasanya memang akan diperbaiki sesuai dengan buku panduan yang dikeluarkan oleh Boeing untuk melihat komponen mana saja yang perlu diperiksa dan diganti.
"Nah, komponen-komponen yang diganti inilah yang kita periksa untuk menentukan apa penyebab kerusakan autothrottle," ujarnya.
Selain itu, thrust lever kanan tidak begerak mundur sesuai dengan perintah auto-pilot atau autothrottle karena ada gangguan mekanikal.
"Karena dari komponen-komponen elektronik sudah kita periksa dan hasilnya baik," katanya.
"Karena thrust lever kanan ini tidak begerak mundur, maka thurst lever kiri mengatur tenaga mesin sebelah kiri mengkompensasi dengan terus bergerak mundur sesuai dengan permintaan autopilot sehingga terjadi asimetri," imbuhnya.
Lebih lanjut, dijelaskannya, pesawat Sriwijaya Air SJ182 sebenarnya sudah dilengkapi dengan CTSM (cruise thrust split monitor) . Namun, pada kasus ini, CTSM terlambat menonaktifkan autothrottle.
"Kami meyakini bahwa keterlambatan CTSM untuk menonaktifkan autothrottle ini karena flight spoiler memberi nilai yang lebih kecil dari bukaan sudut yang sesungguhnya. Sehingga aktiviasinya menjadi terlambat," ucapnya.
Selanjutnya, KNKT juga menyimpulkan faktor lain yang menyebabkan kecelakaan, yaitu Complacency atau rasa percaya terhadap otomatiasi dan confirmation bias adanya informasi mendukung opini atau asumsi.
Akibatnya, monitoring menjadi berkurang. Sehingga tanpa disadari telah terjadi asimetri dan perubahan penerbangan yang sudah menyimpang dari yang diinginkan.
"Berikutnya, faktor yang berkontribusi adalah, pesawat berbelok ke kiri yang seharusnya ke kanan. Dan kemudianya miring ke kanan, dan karena kurangnya monitorng berakibat tindakan pemulihan yang dilakukan tidak sesuai," paparnya.
Terakhir, KNKT mencapat belum adanya pantuan tentang Upset Prevention and Recovery Training (UPRT) dalam proses pelatihan yang diberikan maskapai penerbangan kepada para pilotnya. Padahal, ini sangat penting untuk mencegah pesawat masuk dalam kondisi yang tidak diinginkan.
"UPRT berpengaruh pada proses pelatihan yang diberikan oleh maskapai penerbangan, untukk menjamin para penerbangannya mampu dan memiliki pengetahuan untuk mencegah supaya pesawatnya tidak masuk ke kondisi yang tidak diinginkan," ujar Nurcahyo.
"Dan memulihkan dari kondisi yang tidak diinginkan kembali ke kondisi yang normal," imbuhnya.
Sebagai informasi, pada 9 Januari 2021 dilaporkan pesawat Sriwijaya Air SJ182 dikabarkan jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Peswat jenis Boeing 737-500 itu lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta pukul 14.36 WIB dan dinyatakan hilang kontak pada 14.40 WIB.
Pesawat dengan rute penerbangan Jakarta-Pontianak itu mengangkut mengangkut 62 penumpang. Sebanyak 40 orang merupakan penumpang dewasa, tujuh orang anak-anak, tiga bayi, dan 12 kru.