ERA.id - Sudah 77 tahun Indonesia merdeka. Tapi tak dapat dipungkiri bahwa sampai hari ini masih ada masyarakat di Tanah Air yang tidak memiliki akses pelayanan kesehatan terjangkau dan berkualitas, selayaknya yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dua amanat konstitusi itu menyebutkan, setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu, negara harus bertanggung jawab dan hadir untuk menyediakan fasilitas layanan kesehatan.
Terbatasnya fasilitas medis serta minimnya jumlah dokter dan dokter spesialis telah merugikan banyak nyawa dan kesejahteraan masyarakat. Tak jarang masyarakat di daerah harus berjalan berhari-hari, bahkan harus ditandu untuk mengakses pelayanan kesehatan dasar.
Baru-baru ini seorang ibu hamil di Jawa Barat meninggal di jalan karena kapasitas rumah sakit yang tidak memadai. Kisah itu hanyalah sebagian dari realita tantangan sistem kesehatan Indonesia saat ini.
Data Kementerian Kesehatan RI melaporkan, tak kurang dari 4,7 juta anak Indonesia saat ini berisiko terjerumus ke jurang kebodohan, sebab dibayangi tingkat kecerdasan yang rendah akibat stunting.
Pada saat yang sama, tulang punggung keluarga dengan penyakit tidak menular, seperti stroke, jantung, dan kanker berpotensi merenggut waktu bagi orang tua untuk bekerja dan menjaga anak mereka. Bahkan, lebih tragis saat harus bangkrut akibat menanggung beban biaya medis dan nonmedis.
Data BPJS Kesehatan melaporkan, penyakit jantung menempati posisi puncak 10 penyakit dengan kasus tertinggi di Indonesia pada 2022 mencapai 15,49 juta lebih pasien. Kanker di posisi kedua, dengan jumlah kasus 3,14 juta lebih pasien, dan posisi ketiga ditempati stroke mencapai 2,53 juta pasien.
Sebanyak 70 persen pasien kanker di Indonesia baru memulai pengobatan ketika sudah memasuki stadium lanjut.
Studi ASEAN Cost in Oncology (ACTION) menemukan hampir 50 persen pasien kanker mengalami kebangkrutan atau masalah finansial saat harus menjalani pengobatan selama 12 bulan.
Meski hadir asuransi sosial BPJS Kesehatan, data Bank Dunia menunjukkan total pembiayaan kesehatan mandiri di Indonesia mencapai 34,76 persen, atau lebih tinggi dari rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20 persen.
Beban yang ditanggung BPJS Kesehatan untuk pembiayaan penyakit tidak menular pun lumayan besar, mencapai Rp24,1 triliun pada 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan 2021 Rp17,9 triliun.
Pepatah bijak mengatakan lebih baik mencegah daripada mengobati, sebab biaya yang dipakai untuk mencegah penyakit, jauh lebih rendah dibandingkan biaya pengobatan penyakit.
Namun faktanya, dari laporan Kemenkes, baru 33 persen penduduk Indonesia berinisiatif melakukan skrining kesehatan untuk deteksi dini penyakit tidak menular. Contohnya, seperti pemanfaatan alat mammogram untuk pencegahan kanker payudara.
Kementerian Kesehatan pun menginisiasi program skrining yang menyasar sejumlah penyakit dengan kasus kematian pasien tertinggi, seperti hipotiroid kongenital, thalasemia, anemia, stroke, serangan jantung, hipertensi, penyakit paru obstruksi kronis, tuberkulosis, kanker paru, hepatitis, diabetes, kanker payudara, kanker serviks, dan kanker usus. Harapannya, Indonesia dapat mendorong penghematan beban biaya kesehatan.
Indonesia secara agresif melacak kasus sejak setahun terakhir. Misalnya, deteksi terhadap 700 ribu kasus tuberculosis (TBC) pada 2022 sebagai rekor tertinggi yang pernah diraih Indonesia.
Temuan rata-rata kasus TBC per tahun di Indonesia berkisar 50--60 persen, atau sekitar 500 hingga 600 ribu kasus.
Penyakit TBC di Indonesia menempati peringkat kedua setelah India dengan jumlah kasus yang diprediksi berkisar 969 ribu dan kematian 93 ribu per tahun atau setara dengan 11 kematian per jam. Skrining penyakit juga diperluas hingga kelompok rentan, seperti ibu hamil dan melahirkan. Pemerintah mengirimkan 10.000 unit ultrasonografi (USG) ke semua puskesmas di Indonesia, serta 300.000 unit alat antropometri ke posyandu secara bertahap.
Alat USG portable itu memungkinkan menjangkau hingga wilayah di ujung-ujung perbatasan Indonesia.
Kegiatan skrining penyakit juga melibatkan peran BPJS Kesehatan yang tahun ini mengalokasikan anggaran Rp9 triliun untuk menutup biaya skrining terhadap enam dari 14 target penyakit yang diminta oleh Kemenkes.
Teknisnya dengan cara mengelompokkan orang-orang yang terdiagnosa berisiko rendah, sedang, hingga berat, berdasarkan klasifikasi usia, sehingga dapat dipisahkan dengan mereka yang sehat.
Sejak tahun lalu BPJS Kesehatan telah memulai skrining dengan cara survei. Peserta diminta mengisi formulir atau wawancara dengan Mobile JKN, aplikasi CIKA, Website BPJS Kesehatan dan dengan riwayat skrining kesehatan. Sampai saat ini sebanyak 15,5 juta orang ikut berkontribusi dalam kegiatan itu.
Untuk mencapai pelayanan kesehatan paripurna, Kementerian Kesehatan sedang menjalankan enam pilar Transformasi Kesehatan Indonesia.
Pilar-pilar tersebut mencakup penguatan sumber daya manusia (SDM) kesehatan, peningkatan kualitas layanan kesehatan, penguatan kemitraan dengan sektor lain, penguatan sistem keuangan kesehatan, peningkatan pemantauan kesehatan, dan peningkatan kesiapsiagaan dan respons terhadap bencana kesehatan.
Dalam pilar penguatan SDM kesehatan, fokus utamanya adalah peningkatan jumlah tenaga kesehatan serta pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
Pada pilar peningkatan kualitas layanan kesehatan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menekankan pentingnya peningkatan kualitas dan aksesibilitas layanan kesehatan, termasuk di dalamnya penggunaan teknologi kesehatan yang canggih.
Pilar penguatan kemitraan dengan sektor lain mengacu pada pentingnya kerja sama dengan sektor lain, termasuk pihak swasta, dalam membangun sistem kesehatan yang berkualitas dan berkelanjutan.
Pilar penguatan sistem keuangan kesehatan mengacu pada pentingnya perencanaan, pengelolaan, dan pengalokasian dana kesehatan yang lebih efektif dan efisien, termasuk dalam hal peningkatan kesejahteraan tenaga kesehatan.
Peningkatan pemantauan kesehatan meliputi pengembangan sistem monitoring dan evaluasi yang efektif serta upaya pencegahan dan penanganan wabah penyakit.
Terakhir, pilar peningkatan kesiapsiagaan dan respons terhadap bencana kesehatan mengacu pada pentingnya persiapan dan penanganan bencana kesehatan, baik dalam skala kecil maupun besar.
Transformasi telah menjanjikan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Skrining adalah esensi mendasar dari Transformasi Kesehatan dalam menjawab tantangan Indonesia menghadapi stunting, hingga tren penyakit tidak menular yang akan terus membayangi masyarakat di seluruh siklus kehidupan.