Baleg DPR Tolak Dibilang Tidak Serius soal RUU Perampasan Aset, PSI Sebut Sudah 10 Tahun 'Mangkrak' di Prolegnas

| 10 Apr 2023 17:51
Baleg DPR Tolak Dibilang Tidak Serius soal RUU Perampasan Aset, PSI Sebut Sudah 10 Tahun 'Mangkrak' di Prolegnas
Ariyo Bimmo (Dok. Antara)

ERA.id - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengkritisi sikap Badan Legislatif (Baleg) DPR yang menolak dianggap tidak serius dalam membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Di sisi lain, PSI menilai Pemerintah telah memperlihatkan itikad baik dan persistensinya dalam mengusung RUU ini.

"Setidaknya ada 3 alasan kenapa publik menganggap DPR memang tidak serius mau mengesahkan RUU yang penting ini," demikian pernyataan Juru Bicara PSI, Ariyo Bimmo dalam keterangan tertulis, Senin, (10/4/2023).

Padahal, menurut Bimmo, RUU ini bagian vital dari pelaksanaan Konvensi PBB Anti Korupsi yang memuat kriminalisasi pengayaan tidak sah dan beban pembuktian terbalik dalam mekanisme perampasan aset yang dapt dilakukan tanpa menunggu vonis terhadap pelaku.

"Alasan pertama, DPR sebagai institusi tidak menganggap RUU ini sebagai prioritas," terang Bimmo.

Selama 10 tahun RUU Perampasan Aset selalu masuk daftar panjang Program Legislasi Nasional atau Prolegnas. Artinya, Pemerintah selaku inisiator RUU ini selalu mengajukan RUU ini untuk dibahas. Faktanya dalam Prolegnas 2015-2019, tidak sekalipun RUU ini masuk menjadi prioritas tahunan.

Pemerintah kembali mengajukan RUU Perampasan Aset pada Prolegnas 2019-2024, dimana lebih dari setengah anggota DPR lama terpilih kembali.

"Mestinya ada ingatan institusional dong mana tugas-tugas penting yang belum terselesaikan pada periode sebelumnya," tukas Bimmo.

Pada tahun 2021 RUU ini diajukan menjadi prioritas, bersama RUU Pembatasan Uang Kartal namun gagal karena Badan Legislatif minta pembahasannya ditunda. Baru pada tahun 2023, RUU Perampasan Aset untuk pertamakalinya ditetapkan oleh Rapat Paripurna DPR sebagai prioritas tahunan.

"Alasan kedua, produktivitas DPR memang meragukan. Sebagai Lembaga yang diberikan kekuasaan untuk membentuk undang-undang, DPR tidak memaksimalkan semua fasilitas yang didapatnya untuk memenuhi tugas konstitusionalnya," lanjut ahli hukum jebolan Universitas Groningen Belanda ini.

Capaian Prolegnas jangka menengah sejak tahun 2005 tak pernah mencapai angka 30 persen dari target. Dikutip dari situs dpr.go.id, dari target 221 undang-undang selama 2020-2024, baru dapat diselesaikan sebanyak 19 undang-undang per hari ini. Target prioritas tahunan pun tidak pernah tercapai, berkisar 10-30 persen dalam 3 tahun terakhir.

"Itu bicara RUU yang masuk prioritas, apalagi ini yang baru masuk tahun 2023, tahun politik dimana sebagian anggota dewan sudah tidak fokus demi pencalonan kembali," sambung Caleg DPR RI tahun 2019 tersebut.

Alasan terakhir, DPR dianggap lebih mengutamakan suara parpol. Pada rapat dengar pendapat umum yang dilaksanakan secara terbuka akhir Maret lalu Menkopolhukam Mahfud MD meminta dukungan DPR untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal.

Permintaan tersebut ditanggapi oleh pimpinan komisi 3 bahwa RUU Uang Kartal sulit disahkan karena legislator khawatir tak terpilih lagi. Sedangkan RUU Perampasan Aset, bergantung pada restu para pimpinan parpol.

"Jawaban aneh tersebut boleh saja diklaim sebagai bercanda, namun pimpinan rapat tidak melarang dan atau meminta yang bersangkutan untuk menarik ucapannya, sehingga semestinya tetap tercatat dalam risalah rapat," tegas Bimmo.

Ketiga alasan tadi menguatkan keraguan masyarakat atas komitmen DPR untuk menyelesaikan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal sampai akhir masa jabatannya.

"Jawabannya gampang dan tidak perlu plintat plintut. Tinggal buktikan saja bahwa RUU Perampasan Aset bisa disahkan sebelum mereka selesai. Kalo gak selesai, ya gak usah dipilih lagi," tutup Bimmo

Rekomendasi