ERA.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan 20.783 orang telah terkonfirmasi terinfeksi penyakit sifilis tersebar di berbagai daerah di Indonesia selama tahun 2022.
“Kita berfokus pada penemuan kasus dengan melakukan skrining dini sifilis pada level populasi, terutama populasi rentan dan risiko tinggi dengan menggunakan rapid test (tes cepat) yang sudah terstandar dan hasilnya cepat, sehingga bila ditemukan hasil positif dapat segera ditangani,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi di Jakarta, Kamis (12/6/2023) dikutip dari Antara.
Berdasarkan data yang dihimpun Kemenkes pada 2022, ia membeberkan profil pasien berdasarkan jenis kelamin, di mana 46 persen terkonfirmasi menderita sifilis, sedangkan pada kelompok laki-laki mencapai 54 persen.
Pada kelompok usia berdasarkan data yang sama, diketahui bahwa tiga persen anak berusia di bawah empat tahun terkena sifilis, diikuti dengan usia 5-14 tahun 0,24 persen, 15-19 tahun enam persen, 20-24 tahun 23 persen, sedangkan bagi usia di bawah 50 tahun ada lima persen.
Kasus paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 25-49 tahun mencapai 63 persen.
Imran melanjutkan terkait dengan kelompok populasinya, penderita sifilis paling banyak ditemukan pada laki-laki yang melakukan seks dengan laki-laki (LSL) sebesar 28 persen, diikuti ibu hamil 27 persen, pasangan berisiko tinggi (risti) sembilan persen, Wanita Pekerja Seks (WPS) sembilan persen, Pelanggan Pekerja Seks (PPS) empat persen, Injection Drug Users (IDUs) 0,15 persen, waria tiga persen, dan lain-lain 20 persen.
Ia menjelaskan beberapa penyebab dari banyak kasus sifilis tersebut berhubungan erat dengan perilaku masyarakat yang gemar berhubungan seks secara berisiko tanpa menggunakan kondom.
Selain itu, terdapat kelompok tertentu yang sering berganti pasangan ketika seks, hingga pria yang berhubungan seks dengan sesama jenis.
Hal yang ditekankan Imran adalah kondisi di Indonesia memprihatinkan karena pada 2022, sebanyak 5.590 ibu hamil positif terkena sifilis, sedangkan yang sudah mendapatkan pengobatan berkisar 2.227 ibu.
Menurutnya, setiap pihak harus berhenti berprasangka buruk pada penderita sifilis sehingga penderita bisa segera diobati dan dicegah keparahannya.
Hal itu dikarenakan sifilis berpotensi ditularkan dari ibu hamil ke anak yang dikandung dan membuka potensi bayi lahir cacat atau mengidap sifilis bawaan (sifilis kongenital).
Guna mengatasi sifilis, Kemenkes mengaku berfokus pada penemuan kasus pada populasi rentan dan berisiko tinggi.
Sembari menggencarkan tes cepat antigen, Kemenkes juga mengambil langkah pencegahan melalui sosialisasi edukasi seksual kepada kelompok risiko tinggi dan juga informasi IMS pada kelompok masyarakat umum, sebagai upaya intervensi perubahan stigma dan diskriminasi (IPSD) yang pada hakikatnya memperkuat pelayanan kesehatan di fasyankes dan penemuan kasus.
“Dengan demikian kami pastikan akses layanan IMS jadi berkualitas tinggi untuk semua populasi. Penularan IMS juga akan terus diupayakan berkurang dengan menyasar pada populasi kunci, pasangan dan pelanggannya, sambil memastikan data berkualitas untuk memandu respons menghadapi penyakit (sifilis, red.),” ujarnya.