ERA.id - KPK menegaskan bahwa sikap masyarakat yang menerima serangan fajar atau politik uang adalah sikap koruptif.
Ini merespons pernyataan bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto yang menyarankan masyarakat menerima uang yang dibagikan saat serangan fajar karena menurut Prabowo itu adalah uang rakyat.
"Kepada masyarakat, bahwa serangan fajar yang dimaksudkan, misalnya dengan bagi-bagi uang dan sebagainya dalam proses-proses yang sedang berjalan, itu tindakan koruptif," kata Ali, Rabu (13/9/2023).
Ali menambahkan bahwa dengan menerima uang serangan fajar adalah bibit dari tindak pidana korupsi. Menurut dia, pihak yang membagi-bagikan uang tersebut pasti akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya dengan cara korupsi.
"Pada ujungnya, pada gilirannya, dari hasil kajian dan beberapa perkara yang ditangani oleh KPK, itu motifnya sama, untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Saya kira tidak ingin terjadi kembali hal-hal seperti itu," jelasnya.
Sebelumnya, dalam acara Milad ke-11 Pondok Pesantren Ora Aji di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Jumat (8/9), Prabowo mengatakan bahwa masyarakat boleh saja menerima uang yang dibagikan menjelang pemungutan suara Pemilu 2024. Menurut Prabowo, uang yang dibagikan itu juga merupakan uang rakyat.
"Kita harus jaga kerukunan di antara kita. Kita harus jaga perdamaian dan tadi yang disampaikan Gus Miftah, kalau ada yang membagi-bagi uang, terima saja. Itu juga uang dari rakyat kok. Itu uangnya rakyat. Kalau dibagi, terima saja; tetapi ikuti hatimu, pilih yang kau yakin di hatimu akan berbuat terbaik untuk bangsa, rakyat, dan anak-anakmu," kata Prabowo.
Sebelumnya, pada tanggal 14 Juli 2023, KPK secara resmi telah meluncurkan kampanye "Hajar Serangan Fajar" untuk mengajak masyarakat menolak, menghindari, dan membentengi diri dari godaan politik uang dalam menghadapi pesta demokrasi Pemilu Serentak 2024.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan pesta demokrasi adalah hajatan milik rakyat. Melalui Pemilu 2024, lanjut Firli, masyarakat akan memilih dan menentukan nasibnya untuk lima tahun ke depan.
Pemimpin yang terpilih dari pesta demokrasi itu merupakan representasi dari harapan rakyat akan sebuah perubahan, keadilan, dan kesejahteraan bagi segenap anak bangsa.
Sementara itu, kajian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menyebutkan bahwa praktik politik uang telah menjadi budaya dan mengonstruksi proses demokrasi.
Akibatnya, biaya politik jadi membengkak dan membentuk celah rawan bagi para calon peserta pemilu untuk bermain "kotor" dengan mencari sumber dana ilegal.
Kemudian, hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait Pemilu 2019 mencatat bahwa 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang dan 46,7 persen di antaranya menyebut bahwa politik uang adalah hal wajar.
Fakta tersebut sangat ironis karena jika sosok yang dipilih tidak berintegritas, maka bisa dipastikan kebijakan yang akan diambil kelak jauh dari harapan masyarakat.
Selanjutnya, hasil kajian KPK terkait politik uang menjelaskan bahwa sebanyak 72 persen pemilih menerima politik uang. Setelah dibedah, sebanyak 82 persen penerimanya adalah perempuan dengan rentang usia di atas 35 tahun.
Faktor terbesar perempuan menerima politik uang tersebut, menurut kajian KPK, ialah karena terdesak faktor ekonomi, tekanan dari pihak lain, permisif terhadap sanksi, serta tidak paham tentang politik uang.