Belajar Ketekunan dari Sebuah Tempe, Cita-cita Pebisnis Tempe Lokal soal Swasembada Pangan

| 05 Nov 2023 22:02
Belajar Ketekunan dari Sebuah Tempe, Cita-cita Pebisnis Tempe Lokal soal Swasembada Pangan
Pemilik usaha tempe bernama "Tempeman" Benny Santosa yang telah mengenalkan UMKM Bali kepada wisatawan lokal maupun luar negeri, Bali, Rabu (18/10/2023). ANTARA/Luthfia Miranda Putri

ERA.id - Tangan-tangan itu dengan terampil meracik adonan yang berada di tampah anyaman bambu. Biji kedelai itu satu per satu terkumpul disatukan bersama ragi.

Proses pencampuran itu dilakukan searah jarum jam. Biji kedelai bisa dibayangkan menjadi angka-angka dan jari-jari itu menjadi jarum jam. Setiap detiknya perlu diperhatikan, seakan memang sudah takdirnya untuk sabar menunggu proses itu berlangsung.

Tak gunakan mesin, menjadikan seakan pembuatannya diajak mundur ke zaman dahulu dimana butuh sikap dan pikiran cermat saat meracik.

Sekilas terlihat mudah, namun ternyata membuat makanan berasal dari kedelai itu perlu perhatian tertentu saat membuatnya.

Racikan tempe itu tidak boleh dingin, tidak boleh terkena panas terik matahari, hingga tak boleh ditumpuk agar prosesnya selama 36 hingga 40 jam tidak terganggu.

Kata-kata itu terlontar dari Benny Santosa sang pemilik usaha pembuatan tempe yang telah mengajarkan ribuan para wisatawan lokal maupun luar yang berkunjung ke Pulau Bali.

Dengan bersemangat, pria yang terjun di dunia kuliner sejak 2013 itu menceritakan kisahnya bergulat dengan lauk penuh protein tersebut.

Alasan dia memilih tempe karena munculnya pikiran bahwa bangsa ini harus mampu memenuhi kebutuhan bahan dasar pembuatan tempe dari pasokan dalam negeri. 

Terlebih, warga Indonesia mengonsumsi tempe dan tahu setiap harinya. Jadi, alangkah baiknya jika negeri mampu memenuhi kebutuhan kedelai dari petani, tanpa mengimpor dari negara lain.

Dari situ Benny yakin petani lokal juga punya kekuatan untuk memajukan Indonesia melalui tempe.

Pada awalnya dia hanya coba-coba membuat tempe dengan rasa keju saat masih berkuliah di jurusan tata boga. Tak disangka ada banyak saran yang mengarahkan agar ia melanjutkan usaha itu ke ranah bisnis.

Kemudian, hanya bermodalkan Rp3 juta untuk membeli mesin pengupas kulit kedelai, oven alat masak, hingga bahan untuk membuat tempe. Dia terbang ke Bali mewujudkan impiannya.

Dia juga menggandeng lima kelompok petani lokal dari Grobogan (Jawa Tengah), Pulaki (Bali Utara) hingga Tabanan (Bali) untuk semakin memberdayakan mereka.

Dia berharap dengan berinteraksi langsung dari petani, maka bisa lebih menguntungkan mereka daripada melalui tengkulak.

Usahanya tidak langsung mulus untuk menjadi seperti saat ini. Pandemi COVID-19 menerpa Indonesia yang juga berimbas pada usaha yang dia rintis.

Bisnisnya mengalami penurunan hingga 40 persen lantaran pihak restoran dan hotel yang bekerja sama dengan dia, kala itu terancam tutup.

Mau tak mau, Benny sebagai pebisnis pemula harus pintar memutar otak agar tempenya tetap laku dan menghasilkan uang. 

Selain mencoba memasarkan secara luring, dia juga mencoba ranah daring melalui salah satu platform yang semakin mengenalkan nama usahanya hingga seperti saat ini. Melalui sebuah platform, kini dia berhasil meraih 70 persen keuntungan dari penjualan.

Kini, usaha Benny telah menorehkan omzet ratusan juta per bulan, mulai dari kerja sama bisnis bersama restoran, hotel, hingga supermarket. Dagangannya semakin ramai melalui toko daring maupun usaha lain,yakni kelas mengajar mengenai pembuatan tempe.

Awalnya Benny kagok menggunakan komunikasi Bahasa inggris dengan logat Jawa. Dia menyadari bahwa hal tidak ada masalah. Apalagi dia ingat pepatah leluhur Jawa, yakni "alon-alon asal kelakon" yang artinya, "pelan-pelan asalkan dilakukan".

Dia menuturkan target pasar dari usahanya adalah pelanggan perempuan yang berasal dari Jakarta Selatan. Dia mengandalkan produk makanan bergizi sehat dan bebas gluten (gluten free).

Dari pengalaman usaha itu, dia manpu memelajari tiga hal, yakni keinginan kuat sesuai minat (passion), sabar (patient), gigih (persistent). Dengan berpegang pada tiga hal itu, dia mampu adaptif dalam mengejar kemampuan berbisnis.

Dari pengalamannya, dia belajar bahwa setiap usaha tentu sang pelaku harus mau menyesuaikan situasi dan kondisi dimana harus terus memikirkan solusi agar tetap mendapat rezeki.

Dari makanan yang terbilang sederhana, kita bisa belajar memahami bahwa ada nilai dari sesuatu yang kecil untuk menjadi berharga di tangan orang yang tepat.

UMKM Badung

Pemerintah Kabupaten Badung, Bali, membantu puluhan pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) setempat mempromosikan produknya di kawasan pariwisata Kuta melalui pelaksanaan Badung UMKM Week 2023.

Dinas Koperasi UMKM dan Perdagangan (DiskopUKMP) Kabupaten Badung menyatakan  melalui kegiatan ini pemerintsh daerah berupaya memperkenalkan produk UMKM kepada masyarakat luas, baik dari Nusantara maupun mancanegara.

Pemerintah Kabupaten Badung mendorong pelaku UMKM dalam pameran tersebut agar dapat terus mengembangkan pasar yang lebih luas, sekaligus meningkatkan pengetahuan dalam menganalisis pasar, sehingga dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Pemkab juga memacu kreativitas pelaku UMKM dan meningkatkan daya saing produk UMKM lokal Badung agar selalu berinovasi dalam membuat produk untuk dapat bersaing di pasar global.

Ajang UMKM Week 2023 juga diharapkan dapat memperkenalkan potensi produk-produk UMKM di Kabupaten Badung.

Produk tersebut adalah produk unggulan yang memiliki kualitas baik dan memenuhi standard serta sesuai dengan kebutuhan pasar global pada umumnya.

Pemkab Badung terus memberikan perhatian yang intensif dan semakin gencar, menggali serta membina potensi-potensi unggulan daerah,  terutama yang dapat menjadi produk UMKM untuk dikembangkan.

Rekomendasi