Ada Perintah Rekapitulasi Tingkat Kecamatan Dihentikan, Tudingan Akali Suara Bermuculan

| 19 Feb 2024 18:45
Ada Perintah Rekapitulasi Tingkat Kecamatan Dihentikan, Tudingan Akali Suara Bermuculan
Petugas Pemilu 2024 mengawal proses pemungutan suara. (ERA)

ERA.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI didesak memberikan penjelasan soal adanya perintah menghentikan proses rekaputulasi suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di tingkat kecamatan. Akibatnya, muncul tudingan ada motif untuk memanipulasi suara demi menguntungkan satu partai politik tertentu.

Informasi soal perintah penghentian rekapitulasi di tingkat kecamatan itu disampaikan oleh politisi sekaligus calon anggota legislatif (caleg) DPR RI dari PDI Perjuangan Deddy Yevri Sitorus. Penghentian proses rekapitulasi itu dilakukan di tingkat kecamatan di Provinsi Kalimantan Utara.

"Ada informasi di daerah bahwa KPU Pusat memerintahkan penghentian rekapitulasi suara di tingkat kecamatan. yang mana hal itu tak dikonsultasikan dengan peserta pemilu dan komisi II DPR," kata Deddy dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin (19/2/2024).

Dari foto yang dibagian Deddy kepada media, disebutkan alasan penghentian proses rekapitulasi itu dalam rangka pembersihan data ekstrim di Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) untuk Pemilu 2024 selama dua hari mulai 18 hingga 19 Februari. Akibatnya, milik KPU RI itu belum bisa membaca data dengan akurat.

Proses rapat pleno rekapitulasi akan dilanjutkan kembali pada 20 Februari 2024.

Sementara menurut Deddy, alasan itu tak masuk akal. Sebab Sirekap bukanlah penghitungan suara resmi untuk menentukan hasil pemilu. Menurutnya, penghentian proses rekapitulasi sah saja dilakukan oleh KPU, namun syaratnya dalam kondisi force majeure. Yang dimaksud kondisi force majeure adalah seperti kejadian gempa bumi atau kerusuhan massa.

“Kami dapat informasi alasannya penghentian adalah karena sistem Sirekap mengalami kendala di pembacaan data. Padahal Sirekap itu bukan metode penghitungan suara yang resmi dan sah. Rujukan perhitungan suara adalah rekapitulasi berjenjang, atau C1 manual,” kata Deddy.

Kalaupun alasannya force majeure memang benar adanya, lanjut Deddy, seharusnya penghentian proses rekapitulasi hanya dilakukan di daerah terdampak.

“Jadi misalnya gempa bumi atau kerusuhan terjadi di di daerah A, maka penghentian rekapitulasi hanya terjadi di daerah A. Ini kok kami dapat informasi bahwa penghentian terjadi di seluruh Indonesia,” urainya.

Karena itulah muncul analisa dan kecurigaan publik dengan dugaan bahwa ada motif tertentu dibalik penghentian itu.

Pertama, menyangkut persaingan ketat PDIP dengan Partai Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di pemilu. Kaitannya adalah bahwa peraih kursi terbanyak akan mendapat jatah Ketua DPR.

“Kebetulan jumlah suara kedua partai itu berhimpitan. Memang dari jumlah suara, PDI Perjuangan teratas. Tapi terkait jumlah kursi, itu kaitannya dengan sebaran suara yg menghadilkan kursi. Ada peluang kecil Golkar bisa didorong mendapat jumlah kursi terbanyak. Itu dugaan pertama yang banyak dibahas di bawah,” jelas Deddy.

Kedua adalah terkait dugaan bahwa ada salah satu parpol yang sebenarnya tidak lolos Parliamentary Threshold atau syarat ambang batas parlemen, hendak dipaksakan lolos ke parlemen. Partai ini disebut-sebut masih dekat dengan penguasa di Istana.

“Jadi kedua, ada kuat kecurigaan upaya tersistematis untuk memenangkan salah satu konstestan pemilu. Ada kabar saya dengar kabar bahwa ada operasi agar suara partai kecil akan diambil untuk dialihkan, terutama Partai Perindo, Gelora dan Partai Ummat,” kata Deddy.

Untuk mengatasi kesimpangsiuran dan dugaan tersebut, maka Deddy sangat berharap kepada KPU untuk memberi penjelasan yang selengkapnya.

“Kalau dibiarkan, akan banyak yang teriak bahwa kuat kecenderungan KPU sedang melakukan kejahatan kepemiluan kalau dasarnya Sirekap, bukan force majeure yang sebenarnya. Maka kami memohon KPU harus memberikan penjelasan tentang informasi adanya penghentian proses rekapitulasi ini,” pungkas Deddy.

Rekomendasi