ERA.id - Saksi pasangan calon nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) menolak menandatangani hasil rekapitulasi Pilpres 2024 di Jawa Timur, Jawa Tengah hingga Sumatera Selatan.
Juru Bicara Timnas AMIN Iwan Tarigan menjelaskan, alasan penolakan tersebut. Dia mengatakan, hal itu sesuai dengan instruksi dari Co-captain Timnas AMIN Sudirman Said.
"Sesuai dengan Instruksi Co-captain Tim Nasional (Timnas) Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) Sudirman Said, Timnas AMIN telah menginstruksikan kepada para saksi-saksi paslon AMIN di pelbagai tingkatan untuk menolak hasil rekapitulasi perolehan suara di Pilpres 2024," kata Iwan dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/3/2024).
Iwan mengatakan, instruksi untuk menolak menandatangani rekapitulasi hasil pilpres itu merupakan bagian dari pihaknya dalam menyiapkan berbagai teknis untuk mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kami hanya memastikan Timnas AMIN sedang menyiapkan pelbagai hal teknis untuk mengajukan sengketa ke MK," jelas Iwan.
Selain itu, sambung dia, hal tersebut juga dapat digunakan untuk mengajukan hak angket kecurangan pemilu.
"Pelbagai rancangan bahan-bahan dari Timnas AMIN ke MK itu bisa digunakan untuk mendukung pengajuan hak angket," ujar dia.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Selatan (Sumsel), Andika Pranata mengungkapkan, adanya keberatan saksi dari pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Anies-Muhaimin untuk menandatangani berita acara dan D Hasil Provinsi. Hal ini Andika sampaikan saat rapat pleno rekapitulasi perolehan suara di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, pada Senin (11/3).
"Kejadian khusus keberatan saksi pasangan calon nomor urut 1 tidak bersedia menandatangani berita acara dan D Hasil Provinsi," kata Andika saat membacakan catatan kejadian khusus untuk provinsi Sumatera selatan jenis pemilu presiden dan wapres.
Selain itu, Andika menjelaskan, saksi tersebut beralasan bahwa paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran diduga melanggar batas usia cawapres.
"Serta terdapat dugaan intervensi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/2023 yang dibuktikan dengan uraian dissenting opinion hakim MK dan putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan ketua MK melanggar kode etik," ungkap dia.