PPP: Dilebur Era Soeharto, Tumbang di Tangan Jokowi

| 21 Mar 2024 17:30
PPP: Dilebur Era Soeharto, Tumbang di Tangan Jokowi
Ilustrasi PPP awal berdiri. (Dok. DPP PPP)

ERA.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasil rekapitulasi perolehan suata nasional Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dalam Rapat Pleno terbuka pada Rabu (20/3) malam. Dari 18 partai politik, 10 diantaranya dinyatakan gagal melenggang ke Senayan, salah satunya Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Partai berlambang Ka'bah itu hanya memperoleh 5.878.777 suara atau sekitar 3,87 persen pada Pemilihan Legislasi (Pileg) 2024. Padahal, untuk lolos ke Senayan harus memenuhi syarat ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar empat persen.

Menilik sejarahnya, PPP merupakan partai politik hasil fusi atau gabungan empat partai berbasis Islam yang dilebur menjadi satu, yaitu Partai Nahdhatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti. Resmi terbentuk pada 5 Januari 1973.

Fusi partai politik merupakan kebijakan Presiden kedua RI Soeharto, untuk menyederhanakan partai-partai yang ada di Indonesia. Tujuannya, untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara.

11 Kali Jadi Peserta Pemilu Sejak 1977

Sampai saat ini, PPP tercatat sudah 11 kali menjadi peserta pemilu. Pertama kali pada 1977, kemudian 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, 2019, dan teranyar di 2024.

Menggandeng sejumah tokoh Islam terkemuka seperti KH Zainuddin MZ dan KH Maimoenn Zubair alias Mbah Maimoen, PPP mengalami pasang surat perolehan suara.

Pada Pemilu 1977, PPP bersaing dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Golongan Karya (Golkar). Mengantong suara 29,29 persen, PPP menempati juara dua.

Kemudian di tahun 1982 turun menjadi 26,11 persen. Perolehan suara partai berlambang Ka'bah ini kian anjlok di Pemilu 1987 dengan jumlah 15,25 persen, imbas kebijakan politik Soeharto yang mengharuskan partai politik berasas tunggal Pancasila.

Pada Pemilu 1997, suara PPP melonjak sebesar 5,43 persen dari pemilu sebelumnya, yang hanya 17 persen suara.

Melonjaknya perolehan suara PPP imbas dari kekisruhan politik di internal PDI pada 1996. Akibatnya, PDI kubu Megawati Soekarnoputri tak bisa mengikuti Pemilu 1997. Pendukung putri Bung Karno itu pun mengalihkan suaranya ke PPP, yang kala itu ramai dengan jargon 'Mega Bintang'.

Di era reformasi, PPP kian kehilangan pamor. Munculnya partai-partai baru menyebabkan keterbelahan suara. Banyak pemilih yang memberukan suaranya kepada partai-partai Islam baru, yang berbasis organisasi Islam. Misal, pemilih Nahdlatul Ulama mengalihkan suaranya ke PKB dan warga Muhammadiyah memberikan suaranya ke PAN.

Sejak Pemilu 1999 hingga 2019, tren suara PPP terus merosot. Kenaikan satu persen lebih suara sempat terjadi dalam pemilu 2014.  Dari 5,31  persen tahun 2009 menjadi 6,77 persen di tahun 2014.

Pada Pemilu 2019, PPP menjadi partai politik papan bawah dengan perolehan suara 4,52 persen, alias sangat mepet dengan syarat ambang batas parlemen empat persen.

Menariknya, sejak 2014 hingga saat ini, PPP sudah bergabung dalam barisan pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bahkan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, partai yang kala itu dipimpin Romahurmuziy menjadi pengusung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.

Hanya saja, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 ini, PPP bersama PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak didukung Presiden Jokowi.

Menyandang predikat partai politik Islam tertua yang sudah berusia 51 tahun, PPP harus menelan pil pahit. Sebab, untuk pertama kalinya mereka gagal lolos ke Senayan.

Di bawah kepemimpinan Muhamad Mardiono yang menggandeng Sandiaga Uno sebagai ketua badan pemenangan pemilu (bappilu), PPP hanya menperoleh suara 3,87 persen, alias nyaris memenuhi syarat ambang batas parlemen empat persen.

Gugat Hasil Pileg 2024 ke MK

Tak terima dengan hasil resmi KPU, PPP bakal menyiapkan gugatan hasil Pemilu 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Tentu kami terkejut dengan hasil rekapitulasi, secara bertentangan karena tidak sesuai. Berbeda dengan data internal kami. Namun dengan demikian, kita menghormati proses yang ada di KPU secara berjenjang yang telah dilakukan," kata Awiek di kantor KPU, Jakarta, Rabu (20/3).

Awiek mengungkapkan, partainya telah mengumpulkan berbagai data dan bukti untuk mengajukan gugatan ke MK. Gugatan itu bakal diajukan paling lama tiga hari setelah pengumuman resmi KPU.  

"Yang jelas data-data kami sangat lengkap dan ketika nanti menggugat ke Mahkamah Konstitusi semuanya akan kami lampirkan bukti-bukti tersebut," tegas Awiek.

Selain ke MK, tim hukum PPP juga sudah melaporkan ke Bawaslu terkait temuan dugaan salah input dan salah hitung di beberapa provinsi. Berbagai data dan bukti itu akan disampaikan dalam sengketa hasil Pemilu 2024 di MK untuk mengembalikan suara PPP.

Dia mengungkapkan, berdasarkan data internal partainya, PPP meraih 4,04 persen suara atau lolos PT dan masuk ke Senayan. "Jadi memang dari yang diumumkan oleh KPU kalau berdasarkan rekapitulasi tidak jauh berbeda. Ada selisih 100 ribu hingga 250 ribu suara," ujar Awiek.

Awiek menduga terjadi pergeseran suara PPP ke partai lain yang terjadi di beberapa provinsi. Selain itu, terdapat penggunaan surat suara untuk kepentingan pihak tertentu.

"Ada ketidakwajaran suara sah di sejumlah dapil itu juga menjadi sorotan bagi kami. Tidak logis ketika suara sah mencapai 99,8 persen berarti 0,02 persen yang tidak sah, artinya 100 persen terpakai. Nah, yang seperti itu tentu harus jadi catatan bagi penyelenggara Pemilu ke depan" jelas dia.  

"Pergeseran-pergeseran itu terlacak semuanya dan tidak perlu kami sampaikan ke media," sambungnya.

Rekomendasi