ERA.id - Politisi Partai Golkar, Dhifla Wiyani meyorot permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kubu 01 (Anies-Muhaimin) dan kubu 03 (Ganjar-Mahfud) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurutnya, MK harus menolak permohonan PHPU itu lantaran tidak adanya perhitungan selisih suara dalam petitum. Ia menyampaikan, Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) dan UU MK jelas mengatakan bahwa MK hanya memeriksa tentang perselisihan suara dalam PHPU.
"Jadi sebenarnya mereka wajib membuat perhitungan berapa seharusnya suara yang akan didapat seandainya tidak ada tindakan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) seperti yang mereka dalil-kan," ujar Dhifla dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu kemarin.
Selain itu, kata dia, para saksi dari pasangan calon (paslon) nomor urut 01 dan 03 juga tidak ada yang mengajukan keberatan terhadap hasil suara yang didapat pada saat penghitungan suara di lapangan terkait adanya tindakan TSM seperti yang didalilkan dalam permohonan.
Menurut Dhifla, pernyataan saksi maupun ahli dari pihak pemohon kubu 01 maupun 03 di persidangan justru mengambang dan tidak fokus dengan tindakan TSM yang didalilkan di lapangan.
Dia menambahkan, keterangan dari empat menteri, yang pada awalnya merupakan permintaan pemohon, pun tidak ada yang membuktikan pelanggaran TSM dalam Pemilu 2024.
"Tindakan TSM yang dikatakan dilakukan oleh paslon 02 ini dibuktikan oleh para pemohon hanya berdasarkan berita di media, analisa, dan prediksi," tuturnya.
Dengan demikian, menurut Dhifla, ketiadaan berbagai keberatan pada proses penghitungan suara di lapangan dan penjabaran besaran selisih suara dalam posita dan petitum tersebut yang membuat Majelis Hakim MK harus menolak permohonan sengketa pilpres dari para pemohon.
"Jika Majelis Hakim MK menerimanya, maka berarti MK sudah melakukan pelanggaran atas wewenang yang sudah diberikan oleh UU Pemilu dan UU MK sendiri," kata Dhifla menegaskan.