ERA.id - Pemerintahan Orde Baru kerap identik dengan sejumlah catatan pelanggaram HAM. Salah satu pelanggaran HAM tersebut misalnya terjadi di Rumah Geudong Aceh, yang masih diingat betul masyarakat Aceh lebih dari 2 dekade kemudian.
Pada 1818, Rumah Geudong dibangun di Desa Bili, Kabupaten Pidie oleh Ampon Raja Lamkuta, Hulubalang atau pemimpin yang tinggal di Rumoh Raya. Semasa melawan Belanda, Rumah Geudong kerap digunakan sebagai markas pengaturan strategi perang rakyat Aceh.
Meninggalnya Raja Lamkuta membuat rumah ini turun temurun diwariskan ke keluarganya dan keturunannya, dimulai dari sang adik Teuku Cut Ahmad. Namun, pada era Orde Baru lebih dari 100 tahun kemudian, rumah ini diambil alih tentara tanpa sepengetahuan pemilik aslinya.
Tentara Indonesia Ambil Alih Rumah Geudong
Pada 1976, pemberontakan besar-besaran terjadi di Aceh. Pemberontakan itu disebut "Gerakan Aceh Merdeka", sebuah gerakan separatisme rakyat Aceh yang ingin memisahkan diri dari Nusantara.
Indonesia berkomitmen untuk membasmi habis segala bentuk pemberontakan dan separatisme. Sayangnya, pembasmian tidak terkontrol dan akhirnya banyak warga sipil tak berdosa yang jadi korban karena langsung dituding sebagai anggota GAM.
Militer memberlakukan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sejak tahun 1989. Sejak saat itu pula, Rumah Geudong diambil alih oleh TNI dan dipakai sebagai kamp konsentrasi, penyiksaan, bahkan pembunuhan warga Aceh yang diduga anggota GAM tanpa pengadilan apapun.
Menurut data pemerintah, terdapat 133 orang dari 55 kartu keluarga yang tercatat sebagai korban pelanggaran HAM berat di Rumah Geudong. Angka ini pun belum tentu valid, dengan sumber lainnya mengatakan ada 168 orang hilang, 378 orang tewas, dan 14 orang diperkosa.
Ratusan Orang Disiksa dan Dibunuh
Di satu lantai yang sama dalam rumah maut itu, ada dua ruangan: satu untuk penyiksaan, satu untuk menyimpan mayat mereka yang sudah dibunuh. Tak hanya orang dewasa, anak kecil pun bisa disiksa apabila keluarga mereka ada yang dicurigai sebagai anggota GAM.
Metode penyiksaan dan pembunuhan para korban berbeda-beda: perempuan ada yang dipotong putingnya, ditelanjangi, dan diperkosa. Lalu, para korban tewas ada yang disuruh gali liang kuburnya sendiri baru ditembak mati atau ditimbun hidup-hidup di sumur.
Pada 7 Agustus 1998, Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mencabut status DOM di Aceh. 20 Agustus 1998, warga Aceh ramai-ramai membakar Rumah Geudong karena menganggapnya sumber malapetaka dan trauma warga Aceh.
Saat Komnas HAM datang ke Rumah Geudong, mereka masih menemukan jejak-jejak kebengisan rezim: sisa tulang jari tangan dan kaki, percikan darah, dan lahan kuburan massal seluas 150x180 m. Namun, isi kuburan itu kosong usai tentara memerintahkan pembersihan mayat dari liang.
Saat ini, Rumah Geudong sudah dirubuhkan sehubungan dengan program kerja penyelesaian pelanggaran HAM Jokowi. Namun, warga Aceh mengecam pembongkaran ini karena dianggap sebagai pengaburan dan penghapusan sejarah tanpa penyelesaian yang pasti.
Laporan: Farah Tifa dan Galih Ridwan
Referensi:
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2018/9/6/608/kesimpulan-penyelidikan-komnas-ham-atas-peristiwa-rumah-geudong-dan-pos-pos-sattis-lainnya-di-aceh.html
https://kontrasaceh.or.id/tragedi-rumoh-geudong-membuka-luka-lama-dalam-sejarah-pelanggaran-ham/