Alasan MK Hapus Syarat Presidential Threshold: Polarisasi Masyarakat Akibat 2 Paslon

| 02 Jan 2025 16:53
Alasan MK Hapus Syarat Presidential Threshold: Polarisasi Masyarakat Akibat 2 Paslon
Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi. (Antara).

ERA.id - Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan sejumlah alasan untuk menghapuskan syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen. Syarat tersebut selama ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Salah satunya, munculnya polarisasi di tengah masyarakat akibat kecenderungan hanya ingin memunculkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres).

"Setelah mempelajari secara seksama arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon," ujar Hakim MK Saldi Isra saat membacakan putusan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

"Padahal, pengalaman sejak penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung menunjukan, dengan hanya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi (masyarakat yang terbelah) yang sekiranya tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan Kebhinekaan Indonesia," lanjutnya.

MK menilai, jika hal ini terus dibiarkan, maka tidak menutup kemungkinan Pilpres selanjutnya hanya menampilkan pasangan calon tunggal.

Kecenderungan itu, menurut MK, sudah terlihat dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Banyak pasangan calon kepala daerah tunggal melawan kotak kosong.

"Artinya, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden," ucap Saldi.

Selain itu, MK juga melihat fakta lain yang tidak kalah penting, yaitu adanya dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Fenomena ini terbaca dalam beberapa Pilpres terakhir.

Dominasi partai politik tersebut, menurut MK, berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih untuk mendapatkan alternatif.

"Dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatanya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden," kata Saldi.

"Karena itu, setelah mencermati secara saksama dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan negara, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian sebelumnya," lanjutnya.

Selanjutnya, MK menilai ambang batas presiden 20 persen tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang bertentangan dengan UUD 1945.

"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," ujar Saldi.

Selain itu, MK menilai dalam sistem presidensial dengan balutan model kepartaian majemuk harus diperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dengan jumlah partai politik peserta pemilu. Namun, pembentuk undang-undang bisa mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang terlalu banyak.

"Dalam revisi UU 7/2017, pembentuk undang-undang dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak sehingga berpotensi merusak hakikat dilaksanakannya pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat," ujar Saldi.

Diketahui, MK memutuskan mengambulkan seluruh gugatan uji materi perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Dian Fitri Sabrina, Muhammad, Muchtadin Alatas dan Muhammad Saad.

Para pemohon menggugat Pasal 222 UU Pemilu terkait syarat ambang batas pencalonan presiden. 

Rekomendasi