Segara Disahkan jadi Undang-Undang, Sudahkah Suara Sipil Terakomodasi di RUU TNI?

| 19 Mar 2025 06:30
Segara Disahkan jadi Undang-Undang, Sudahkah Suara Sipil Terakomodasi di RUU TNI?
Komisi I DPR dan pemerintah sepakat membawa revisi UU TNI ke Rapat Paripurna untuk disahkan sebagai undang-undang. (ERA.id).

ERA.id - Komisi I DPR dan pemerintah telah merampungkan pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Keduabelah pihak sepakat membawa rancangan perundang-undangan itu ke Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang.

Dalam Rapat Pleno pengambilan keputusan tingkat I yang digelar di ruang rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (18/3) siang, delapan fraksi di Komisi I menyetujui pengesahan Revisi UU TNI di Rapat Paripurna DPR terdekat. Masing-masing fraksi memberikan sejumlah catatan.

"Saya mohon persetujuannya, apakah RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, untuk selanjutnya dibawa pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI untuk disetujui mejadi undang-undang, apakah bisa disetujui?," ujar Ketua Komisi I DPR Utut Adianto.

"Setuju," jawab anggota Komisi I DPR.

Ditemui usai rapat, Wakil Ketua DPR Dave Laksono menyampaikan, jadwal reses DPR diundur hingga pekan depan. Semula berdasarkan kalender acara, para legislator bisa kembali ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing mulai 20 Maret 2025.

Meski masih cukup waktu, menurutnya sangat dimungkinkan Rapat Paripurna DPR untuk mengesahkan Revisi UU TNI menjadi UU bakal dilakukan dalam pekan ini.

"Saya enggak tahu, kemungkinan bisa jadi minggu ini. Karena masih ada beberapa hari lagi di minggu ini, jadi minggu ini mungkin bisa diputuskan di rapat paripurna," kata Dave.

Koalisi Masyarakat Sipil Tekankan Supremasi Sipil hingga Meritrokasi dalam RUU TNI

Sebelum rapat pleno pengambilan keputusan tingkat I atas Revisi UU TNI digelar, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyambangi DPR. Mereka melakukan audisensi dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Komisi I DPR.

Mereka yang hadir antara lain Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, pihak Transparency International Natalia Soebagyo, peneliti Imparsial Al Araf.

Selain itu juga ada beberapa aktivis lain seperti Bedjo Untung, Sumarsih, dan Halida Hatta.

Meskipun audiensi digelar tertutup tanpa alasan yang jelas, pihak Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan isi pertemuan dengan DPR terkait Revisi UU TNI. Mereka menekankan pentingnya mempertahankan supremasi sipil dalam setiap pasal-pasal perubahan.

"Pasal-pasal yang kami bahas tadi harus diarahkan untuk memastikan tegaknya supremasi sipil, tegaknya negara hukum, tegaknya tentara yang profesional, tentara yang modern," ujar Usman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/3).

Di hadapan anggota DPR, mereka mempersoalkan penempatan prajurit TNI aktif dijabatan sipil pada sejumlah kementerian dan lembaga. Serta tugas pokok TNI terkait operasi militer selain perang.

Usman mengatakan, Koalisi Masyarakat Sipil tak berkenan apabila prajurit TNI aktif menempati jabatan sipil di luar urusan pertahanan. Begitu pula dengan perluasan tugas pokok TNI.

"Misalnya, dalam penanganan masalah narkotika atau dalam konteks penanganan siber tapi tanpa ada keterangan pertahanan siber. Demikian pula dii dalam kementerian seperti Kementerian dan Perikanan," katanya.

"Mengenai bagaimana kontrol supremasi sipil itu bisa tegak, dalam konteks pengerahan militer untuk operasi militer khususnya selain perang.," sambung Usman.

Koalisi Masyarakat Sipil juga menyinggung kekhawatiran kembalinya dwifungsi militer telah yang menimbulkan kerusakan kehidupan sendi-sendi sosial dan politik. Termasuk pelanggaran HAM, dan juga tidak berkembangnya kehidupan sosial politik demokratis di Indonesia,

"Termasuk juga menyebabkan berbagai penyimpangan peran militer, berbisnis, berpolitik, dan juga melakukan urusan-urusan lain," kata Usman.

Sementara Halida Hatta mengaku, sepanjang audiensi masukan yang disampaikan diterima dengan baik dan diperhatikan oleh DPR.

Meski begitu, dia menyinggung masih ada masalah yang lebih rumit dan belum terselesaikan hingga saat ini. Seperti sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Dalam pandangannya, menjag supremasi sipil dalam Revisi UU TNI juga harus diselerasakkan dengan sistem meritokrasi.

"Di zaman sekarang ini, keadaan sekarang ini, jadi sipil dalam karirnya, dalam jabatannya, dalam naik jenjangnya harus lihat pada meritokrasi," kata Halida.

"Dan kekhawatiran bahwa nanti ada jabatan-jabatan yang dipotong oleh masuknya semacam dwifungsi itu," sambungnya.

Putri ketiga Wakil Presiden pertama RI Mohammad Hatta atau Bung Hatta itu lantas mengingatkan kembali apa yang sudah diatur ayahnya di awal kemerdekaan Indonesia. Yaitu Indonesia memerlukan tentara yang profesional.

Oleh karenanya, seorang tentara memerlukan pelatihan dan pendidikan yang rigid sesuai tugas pokok dan fusngi TNI.

"Karena memang fungsi utamanya adalah pertahanan negara. Jadi bukannya nanti tugas-tugas sipil harus mereka yang lalukan. Sipil harus juga diberi kesempatan untuk berkembang," ujar Halida.

Klaim Dapatkan Titik Temu

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengklaim, sudah mendapatkan titik temu antara DPR dengan Koalisi Masyarakat Sipil terkait poin-poin perubahan dalam Revisi UU TNI.

"Tadi kita sudah lakukan audiensi dengan teman-teman dari Koalisi Masyarakat Sipil. Pertemuan tadi berjalan dengan hangat, lancar, diskusi dan dialog yang membangun dan ada kesepahaman dengan kedua belah pihak, insyaallah saya pikir ada titik temu," kata Dasco.

Dalam audiensi, DPR memberikan penjelasan terhadap pasal-pasal yang disorot masyarakat sipil. Serta mengakomodir masukan dan saran dari sipil.

"Kami memberikan penjelasan sekaligus juga mengakomodir karena dari kemarin sebenarnya ini diskusi-diskusinya sudah intens," kata Dasco.

Terpisah, Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menyampaikan, pihaknya dan pemerintah menyepakati mengubah sejumlah poin yang sudah disetujui saat rapat konsinyering Panitia Kerja (Panja) Revisi UU TNI.

Diantaranya yaitu mencabut perluasan tugas pokok TNI dalam membantu penanggulangan penyalahgunaan narkotika. Aturan itu awalnya diusulan pemerintah untuk dimasukan dalam operasi militer selain perang.

Selain itu menghapus Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dari daftar kementerian dan lembaga yang bisa diisi prajurit TNI aktif. Alasannya karena tidak adanya kepentingan yang mendesak menempatkan militer aktif di lingkungan KKP.

"Itu usulannya bahwa ini tidak terlalu penting ada prajurit TNI di KKP dan kita diskusikasn, oke, malah lebih bagus," kata Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/3).

Dia menjelaskan, dalam Pasal 47 draf Revisi UU TNI, hanya menambahkan sejumlah kementerian dan lembaga yang memang sebelumnya sudah diatur di perundang-undangan lainnya.

Diantaranya seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kejaksaan Agung, Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

"Sementara yang di drop adalah KKP, itu clear ya," kata politisi PDI Perjuangan itu. 

Rekomendasi