ERA.id - Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon mengungkapkan alasan penulisan ulang sejarah Indonesia dengan narasi positif. Dia menekankan, pemerintah ingin menonjolkan pencapaian dari pemimpin di masing-masing era, ketimbang mencari kekurangannya.
"Kita ingin menonjolkan pencapaian-pencapaian, prestasi-prestasi, prioritas-prioritas, dan juga peristiwa-peristiwa pada zaman itu," kata Fadli di Masjid Istiqlal, Jakarta, Sabtu (6/6/2025).
Menurutnya, penulisan ulang sejarah Indonesia dengan narasi positif tak perlu dipermasalahkan apalagi menjadi perdebatan. Sebab, proyek ini bukan untuk mencari kekurangan dari presiden-presiden yang pernah memimpin sebelumnya.
Dia mengatakan, setiap masa kepemimpinan suatu presiden pasti memiliki kekurangan dan kelebihan.
"Saya kira tidak ada masalah dengan tone positif itu, artinya kita tidak mencari-cari kesalahan. Di masa-masa itu pasti ada kelebihan, ada kekurangan," kata Fadli.
Pemerintah juga berkeinginan mempersatuan bangsa lewat penulisan ulang sejarah Indonesia. Oleh karenanya, dia menilai, proyek tersebut sudah tepat juga ditulis dengan narasi-narasi yang positif.
"Jadi kita tentu tone-nya itu adalah dalam sejarah untuk mempersatuan kebenaran bangsa. Untuk apa kita menulis sejarah kalau untuk memecah belah bangsa," ujar Fadli.
Politisi senior Partai Gerindra itu menambahkan, proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini sekaligus untuk melengkapi catatan perjalanan bangsa.
Menurutnya, penulisan sejarah Indonesia sudah 26 tahun tidak diperbaharui. Catatan terkahir terkait dengan kepemimpinan Presiden ke-3 RI B.J Habibie.
"Terakhir itu ditulis di era Pak Habibie sebagai presiden. Jadi kalau anda lihat sejarah yang ditulis oleh pemerintah, kapan terakhir? Pemilu saja tahun 97, jadi sudah lebih dari 26 tahun kita tidak pernah menulis sejarah kita," kata Fadli.
Bukan hanya catatan soal presiden RI pasca Habibie saja, menurutnya, banyak penemuan baru yang juga perlu ditambahkan. Misalnya, lukisan gua di Kalimatan yang diklaim lebih tua dari temuan di Perancis.
Selain itu, penemuan prihal masuknya Islam di Indonesia di abad ke-7 masehi. Sementara dalam catatan sejarah yang saat ini ada, tertulis bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
Dia menambahkan, pemerintah juga ingin menonjolkan perjuangan perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah. Sehingga, sejarah yang ditulis ulang nanti mengedepankan perspektif Indonesia sentris, bukan kolonial.
"Kita ingin perspektifnya itu menekankan kepada sejarah perlawanan para pahlawan kita terhadap para penjajah," kata Fadli.
"Jadi bukan hanya sekadar dikatakan kita dijajah 350 tahun, tetapi kita ingin ada justru menonjolkan Indonesia sentris, perlawanan kita kepada kolonial, kepada penjajah," sambungnya.
Lebih lanjut, Fadli memastikan bahwa proyek ini dikerjakan oleh para sejarahwan yang memiliki kompetensi. Dia meyakinkan, penulisan ulang sejarah Indonesia tidak ditulis oleh aktivis apalagi politisi.
"Sejarahwan ini punya keahlian, mereka doktornya di bidang itu, profesornya di bidang itu. Jadi kita tidak perlu khawatir, pasti punya kompetensi di dalam menulis sejarah itu," katanya.
"Justru yang kita khawatir kalau sejarah itu ditulis oleh para aktivis yang punya perspektif masing-masing. Sejarah tidak bisa ditulis oleh politikus, apalagi yang resmi," pungkas Fadli.