ERA.id - Mengapa vaksin buatan China diuji coba di Indonesia, bukan di negara asalnya? Apakah masyarakat Indonesia dijadikan kelinci percobaan?
Pertanyaan ini muncul usai pemerintah Indonesia melalui PT Bio Farma (Persero), menguji klinis fase III vaksin Sinovac untuk COVID-19 dari China. Vaksin itu akan diujicobakan kepada 1.620 subjek di Bandung, Jawa Barat.
Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay meminta supaya pertanyaan itu bisa mendapat penjelasan supaya jangan ada presepsi bahwa 1.620 relawan itu sebagai kelinci percobaan.
"Ini kan mau diuji cobakan ke manusia, ada 1.620 yang akan diujicobakan. Pertanyaannya kenapa harus di Bandung? Jangan sampai persepsi publik, ini China datang menjadikan kita kelinci percobaan," ujar Saleh dalam acara diskusi virtual, Minggu (27/7/2020).
Saleh juga mempertanyakan, mengapa pemerintah memilih vaksin dari perusahaan China untuk diuji klinis di Indonesia. Menurutnya, jika perjanjian antara pemerintah dengan Sinovac berdasarkan businees to business, maka ada baiknya diuji coba di negara asalnya. Barulah nanti setelah ada hasilnya bisa dibicarakan kembali.
Selain itu, kata politisi PAN ini, Indonesia saat ini juga sebenarnya sedang mengembangkan vaksin sendiri yang tidak bekerja sama dengan pihak mana pun.
"Ini harus kita urai, barang-barang yang datang dari China harus bisa menyejahterakan rakyat kita. Ini kan bukan hanya vaksin. Jadi ini hanya ditanyakan. Apakah ini benar-benar bermanfaat atau hanya sebagai pasar saja," kata Saleh.
Menjawab hal tersebut, Corporate Secretary PT Bio Farma (Persero) Bambang Heriyanto menjelaskan uji klinis memang kerap dilakukan di luar negara tempat pembuatan vaksin. Dia lantas mencontohkan, Indonesia pernah melakukan uji klinis di beberapa negara seperti Kenya, Belgia, dan Panama.
Lagipula, kata Bambang, vaksin hasil kerja sama Bio Farma dan Sinovac ini sudah menjalankan fase pertama dan kedua di China. Fase pertama dan kedua merupakan fase yang berkaitan dengan keamanan vaksin di fase ketiga atau uji klinis.
"Dan tidak ada orang Eropa yang menyatakan mereka sebagai kelinci percobaan," kata Bambang.
Selain itu, dia menjelaskan alasan pemerintah memilih bekerjasama dengan Sinovac karena perusahaan farmasi asal negeri tirai bambu itu dinilai cepat dalam meneliti vaksin.
Bambang mengatakan, di dunia saat ini ada 140 institusi yang melakukan penelitian vaksin COVID-19. Namun, tak lebih dari 10 yang sudah masuk uji klinis fase III, yang mana salah satunya adalah Sinovac.
Menurut dia, Indonesia saat ini memilik beberapa skenario terkait pengembangan vaksin untuk melawan pandemi COVID-19.
Pertama adalah melakukan kerja sama dengan perusahaan yang sudah ahli di bidangnya. Kerja sama ini, kata Bambang, berguna untuk melaksanakan transfer teknologi.
"Jadi short term kita coba untuk mendapatkan akses dari teknologinya (kerja sama dengan Sinovac, red). Jadi tidak sekadar beli vaksin, kita sekaligus transfer teknologi," ujarnya.
Skenario kedua adalah melaksanakan penelitian sendiri tanpa bekerja sama dengan pihak lain. Hanya saja, untuk skenario kedua ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama.
Mengingat, konsorsium riset vaksin yang dipimpin oleh Lembaga Molekuler Eikjman, baru diperkirakan mendapat kandidat vaksin di tahun 2021 mendatang.
Pernyataan Bambang ini diperkuat oleh Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono. Ia juga menyatakan keamanan dari vaksin itu, diuji coba di fase pertama dan kedua.
"Jadi kalau tidak lolos ke fase satu dan fase dua, enggak mungkin bisa lolos ke fase ketiga walaupun dalam kondisi mendesak," jelas Pandu.
Pada fase ketiga, kata Pandu, kalaupun ada efek samping yang dialami oleh relawan yang ternyata tidak ada di fase pertama dan kedua, maka pengujian bisa dihentikan.
"Misalnya ada yang sampai meninggal. Makanya harus ada board yang independen untuk memonitoring efek samping ini harus dibentuk tim Unpad. Jadi tim ini bisa bilang penelitian berhenti jika ada efek sampingnya," pungkasnya.