ERA.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengevaluasi kinerja Badan Intelijen Negara (BIN) terkait lolosnya buronan kasus korupsi cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.
Peneliti ICW, Wana Alamsyah mengatakan BIN tak mampu melacak keberadaan Djoko Tjandra yang berhasil masuk dan keluar lagi dari Indonesia dengan bebas.
"Mulai dari masuk ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik hingga mendaftarkan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membuktikan bahwa instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal," kata Wana dalam keterangan tertulis, Selasa (28/7).
Berdasarkan catatan ICW sepanjang 1996 hingga 2020 terhitung ada 40 koruptor yang masih buron. Lokasi yang teridentifikasi menjadi tempat persembunyian di antaranya Papua Nugini, Cina, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat dan Australia.
Menurut ICW, mendeteksi keberadaan buronan kasus korupsi dan menginformasikan kepada penegak hukum merupakan satu dari rangkaian tugas lembaga intelejen.
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, kata Wana, bentuk ancaman yang menjadi tanggung jawab BIN satu di antaranya adalah ekonomi nasional.
Selain itu, Pasal 2 huruf d jo Pasal 10 ayat (1) UU 17/2011 juga menjelaskan perihal koordinasi dan fungsi intelijen dalam negeri dan luar negeri.
"Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa pencarian serta sirkulasi informasi dari BIN belum menunjukkan hasil yang maksimal," katanya.
BIN langsung menanggapi pernyataan ICW. Badan telik sandi tersebut menegaskan tak berwenang memburu koruptor.
"Berdasarkan Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2011, BIN tidak mempunyai kewenangan penangkapan baik di dalam maupun di luar negeri. BIN bukan lembaga penegak hukum. BIN memberikan masukan ke Presiden yang sifatnya strategis menyangkut keamanan negara," ujar Deputi VII BIN, Wawan Hari Purwanto, Rabu (29/7/2020).
Menurut Wawan, BIN bukan lembaga 'pemburu' korptor. Sesuai dengan Undang-Undang BIN merupakan alat Negara yang menyelenggarakan fungsi Intelijen Dalam dan Luar Negeri. BIN berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden, sehingga laporan BIN langsung ke Presiden tidak disampaikan ke publik. "BIN juga bertindak sebagai koordinator lembaga Intelijen Negara dan melakukan koordinasi dengan Penyelenggara Intelijen Negara lainnya, yaitu Intelijen TNI, Kepolisian, Kejaksaan dan Intelijen Kementerian atau non-Kementerian, sambungnya.
Selain itu, Wawan mengatakan, saat ini ada sejumlah koruptor yang tengah mengajukan upaya peninjauan kembali (PK). Termasuk dalam hal ini buron kasus pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko S Tjandra alias Joko S Tjandra. "Hal ini menjadi kewenangan yudikatif untuk menilai layak dan tidaknya pengajuan PK berdasarkan bukti baru (novum) yang dimiliki," ucapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKB Abdul Kadir Karding menilai tidak proporsional ketika ada pihak yang meminta kinerja BIN dievaluasi terkait kasus buronan Djoko Tjandra yang bebas keluar masuk ke Indonesia.
"Pernyataan teman-tean ICW yang meminta Presiden Jokowi mengevaluasi terhadap kinerja Badan Intelijen Negara terutama terkait kasus Djoko Tjandra, menurut saya tidak proporsional dan tidak pada tempatnya," kata Karding di Jakarta, Rabu (29/7/2020).
Karding menilai kewenangan penegakan hukum termasuk penangkapan, dimiliki oleh penegak hukum dalam hal ini Polisi interpol dan juga Kejaksaan ataupun KPK. Menurut dia, melihat kasus Djoko Tjandra, terlalu jauh kalau tiba-tiba "mengalamatkan" kesalahan itu kepada BIN.
"Karena kalau melihat cerita dan kasusnya, banyak pihak oknum yang sudah diproses secara hukum misalnya dari Kepolisian Brigjen Prasetijo sudah tersangka kemudian sedang ada penyelidikan terhadap imigrasi kemudian kejaksaan atau pun juga aparat kelurahan yang mengurusi soal semua proses administrasi Djoko Tjandra," ujarnya.