ERA.id - Anggota Komisi V DPR Fraksi PKS, Suryadi JP menuding DPR masih terus memanfaatkan masa reses untuk 'kebut' pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law). Dalam waktu dekat pada tanggal 3 Agustus 2020, akan dilanjutkan lagi pembahasan RUU Cipta Kerja ini.
"Layaknya angkot yg ugal-ugalan kejar setoran, pembahasan RUU Cipta Kerja benar-benar dipaksakan, baik dari sisi waktu maupun dari sisi muatan RUU," kata Suryadi pada wartawan, Minggu (2/8/2020).
Ia mencontohkan, penghapusan secara diam-diam otonomi daerah dari UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Padahal otonomi daerah ini merupakan salah satu hasil perjuangan reformasi yang dulu harus dibayar dengan darah para pahlawan reformasi.
"Salah satu bentuk otonomi daerah ini diejawantahkan dalam bentuk kewenangan penataan wilayah oleh Pemda melalui penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sayangnya dalam revisi UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang dimasukkan melalui RUU Cipta Kerja, kewenangan ini akan dihapuskan," katanya.
Hal ini tampak dari penghapusan definisi Pemerintah Daerah dari ketentuan umum UU Nomor 28 tahun 2002. Menurutnya, kalaupun masih ada peran Pemda terkait penerbitan IMB yang akan diganti menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), maka peran tersebut tidak lebih seperti tukang stempel Pemerintah Pusat saja, karena sebagian besar prosesnya sudah diambil alih oleh Pemerintah Pusat.
"Selama ini penerbitan IMB terbagi menjadi dua kategori yaitu kategori pertama adalah bangunan gedung untuk kepentingan umum atau yang diperkirakan berdampak penting terhadap lingkungan dan yang kedua adalah bangunan gedung yang diperkirakan tidak berdampak penting bagi lingkungan," ujarnya.
Ia menjelaskan bagi bangunan gedung untuk kepentingan umum atau yang diperkirakan berdampak penting bagi lingkungan, maka rencana teknis bangunan gedung harus melalui pemeriksaan/konsultasi tim ahli bangunan gedung yang dibentuk secara ad hoc oleh Pemda setempat. Sedangkan bangunan gedung yang tidak berdampak penting, rencana teknisnya langsung diperiksa oleh petugas Pemda setempat tanpa harus melalui pemeriksaan/konsultasi tim ahli bangunan gedung.
"Seluruh proses ini dilaksanakan setelah pemohon menyerahkan seluruh persyaratan administrasi dan teknis melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG)," katanya.
Dalam skema yang diajukan oleh Pemerintah melalui RUU Cipta Kerja, proses pemeriksaan/konsultasi ini diubah, rencana teknis dikonsultasikan sebelum masuk dalam SIMBG. Bagi rencana teknis yang telah mendapat pernyataan memenuhi standard teknis dari Pemerintah Pusat, baru masuk ke SIMBG untuk mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
"Detail penjelasan terkait proses ini tidak dijelaskan dalam Naskah Akademik, namun justru dijelaskan melalui presentasi yang dibagikan oleh Pemerintah kepada DPR RI," katanya.
Ia melanjutkan melalui penjelasan ini seolah-olah Pemerintah Daerah masih memiliki kewenangan atas penerbitan IMB (yang nanti akan diubah menjadi PBG), namun jika ditelaah lebih dalam maka jika RUU Cipta Kerja ini disetujui maka Pemda tidak ubahnya bagai tukang stempel saja yang tidak memiliki peran apa-apa, karena proses konsultasi tidak lagi melalui tim ahli bangunan gedung yang dibentuk oleh Pemda dan pernyataan memenuhi standard teknisnya sendiri diberikan oleh Pemerintah Pusat.
Oleh sebab itu FPKS menolak penghapusan peran Pemda dalam proses penerbitan IMB (yang nanti akan diubah menjadi PBG). Dalam DIM yang diserahkan oleh FPKS ke Baleg DPR, FPKS menolak penghapusan definisi Pemerintah Daerah dari ketentuan umum, dan mempertahankan kewenangan Pemda dalam penerbitan IMB. Tetapi FPKS mengajukan beberapa usulan perbaikan sistem terkait keterbukaan status proses dan status antrian dalam proses penerbitan IMB," katanya.