ERA.id - Anggota Komisi I DPR RI Abdul Kadir Karding menilai gugatan dan uji materil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang dilayangkan RCTI dan iNews ke Mahkamah Konstitusi merupakan hak hukum setiap orang. Namun dia tak setuju jika gugatan itu nantinya membatasi hak bicara masyarakat.
"Kalau live Instagram, live Facebook maupun yang lain, itu terlalu berlebihan kalau diatur," ujar Karding saat dihubungi, Selasa (1/9/2020).
Menurutnya, tidak semua kaidah-kaidah dalam UU Penyiaran dapat berlaku untuk penyiaran konvensional. Jangan sampai, kata Karding, UU Penyiaran membatasi hak bicara dan berekspresi masyarakat.
"Kalau online dalam bentuk misalnya Instagram, Facebook, mungkin juga Twitter atau platform lain nanti kita harus bijak. Jangan sampai nanti membatasi hak ekspresi, hak bicara dan hak berpikir warga. Itu saya kira kurang tepat," kata Karding.
Oleh karenanya, harus dipilah-pilah mana saja yang bisa dikaitkan dengan UU Penyiaran dan mana yang tidak bisa dipaksakan. Menurutnya, Uji Materil yang dilakukan RCTI dan iNews dalam konteks mengatur konten-konten yang tidak patut atau untuk mengatur penghasilan beberapa jenis platformn berbasis seperi YouTube dan Netflix, maka hal itu boleh saja dilakukan.
"Kegiatan penyiaran yang bersifat bisnis seperti YouTube dan Netflix misalnya, saya kira nggak ada masalah. itu menurut saya memang harus ada kontribusinya ke negara," kata Karding.
Ke depannya, Karding akan mendorong agar masalah ini bisa ikut dibahas dalam revisi UU Penyiaran agar dapat mengakomodir hal-hal yang yang belum diatur dalam UU penyiaran. Misalnya bagaimana konten-konten itu tetap pada porsinya dan bagaimana semua proses penyiaran terutama bertujuan binis dapat memberikan sumbangsih pajak paling tidak itu retribusi kepada negara.
"Jadi kita harus bijak melihat keadaan sekarang. Intinya, prinsip, karena itu adalah hak dasar manusia, hak bicara, hak ekspresi itu tidak boleh dilarang, itu bagian dari HAM," tegasnya.
Untuk diketahui, permohonan uji materi UU Penyiaran diajukan oleh RCTI dan iNews TV. Pihak pemohon menggugat Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang menyebut, "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."
Pemohon menilai pasal itu menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix.
Sebab, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.
Oleh sebab itu, pemohon meminta MK menyatakan, pasal tersebut tak kekuatan hukum tetap sepanjang tidak mengatur penyelenggara penyiaran berbasis internet untuk tunduk pada pasal tersebut.