ERA.id - Setelah pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto berkuasa, kehidupan para orang-orang dan keluarga yang dituduh terlibat dengan peristiwa 30 September 1965 dan Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin sulit. Mereka dipaksa hidup di tengah lingkungan masyarakat yang sangat diskriminatif, tidak jarang pula gerak gerik mereka pun dipantau pemerintah.
Kehidupan seperti itu juga dirasakan Ilham Aidit, putra keempat Ketua Central Committee (CC) PKI Dipa Nusantara (DN) Aidit. Khususnya sepanjang era Orde Baru, saat masih tinggal di Jakarta. Nyaris setiap malam telepon rumahnya tak pernah berhenti berdering dari orang tak dikenal.
"Waktu sebelum reformasi tentu persekusi terjadi. Seperti misalnya waktu saya tinggal di Jakarta itu cukup rutin telepon saya berdering di malam hari. Pertama dia ngajak bicara seperti baik-baik saja tapi ujung-ujungnya itu ancaman," ujar Ilham saat ditemui Era.id di kediamannya di Bandung, belum lama ini.
Menurut Ilham, orang yang kerap meneleponnya itu mengaku dari aparat tanpa mau menyebutkan namanya. Mereka sering menanyakan kegiatan yang sedang dilakukan Ilham. Tak jarang dia dituduh terlibat dalam kegiatan politik. Padahal, sejak lulus kuliah, Ilham tak pernah menyentuh dunia politik.
"Mulai ngaco lagi nih (aparatnya), 'saya dengar mas Ilham mulai berkegiatan politik ya?' 'Dari mana anda dengar itu' saya tanya itu. 'Jadi gini mas Ilham, mas Ilham jangan coba-cobalah masuk dunia politik atau melakukan kumpul-kumpul untuk membahas masalah ini," ucap Ilham mengulang percakapannya dengan orang yang mengaku aparat itu.
Tak hanya dipantau dengan deringan telpon di malam hari saja, Ilham juga kerap mendapati sebuah mobil Kijang berwarna putih terparkir tak jauh dari rumahnya. Mobil itu pun sering membuntutinya saat keluar rumah hingga ke tempat kerjanya. Belakangan ia meyakini orang-orang yang menelepon dan membuntutinya itu memang aparat yang ditugaskan negara untuk mengawasi gerak geriknya.
"Dan itu sering terjadi di tahun 91-94, jadi ada empat lima tahun itu rutin sekali. Apalagi bulan September," kata Ilham.
Peraturan Menteri Dalam Negeri yang Diskriminatif
Sebagai anak Ketua CC PKI, Ilham paham jika dirinya menjadi sorotan utama pemerintah. Namun rupanya pemerintah pada saat itu sangat berjalan terlalu jauh yang akhirnya melanggengkan diskriminatif kepada orang serta keluarga yang dituding terlibat dengan PKI.
Dengan tegas Ilham mengatakan, diskriminatif terhadap mereka yang dituduh PKI itu justru dilakukan negara lewat terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 1981. Di dalamnya tercantum sebuah pasal yang menegaskan siapa saja yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan yang mengkhianati NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 seperti PKI atau organisasi terlarang lainnya dilarang menjadi PNS, ABRI, dilarang pengajar, dan menduduki lembaga-lemabaga tinggi negara.
"Peraturan itu menjadi peraturan yang gila-gilaan, mungkin hanya terjadi di dunia itu bahwa ada peraturan resmi dari pemerintah yang mendiskriminasi," kata Ilham.
Bagi Ilham, pasal itu merupakan pasal karet. Sebabnya, jelas tertulis 'yang terlibat langsung maupun tidak langsung', artinya bisa saja itu berdampak pada keluarga inti, keluarga jauh, bahkan anak mantu juga tetangga dari orang yang dituduh terlibat dengan PKI.
Ilham sendiri pernah membuktikan betapa diskriminatifnya pemerintah Orde Baru kepada orang-orang PKI. Ia menceritakan saat baru lulus kuiah dan mencoba mendaftar sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Tentu saja, kata Ilham, dirinya langsung ditolak pada tahap pertama karena tak menutup-nutupi latar belakang keluarganya.
"Ketika saya dulu lulus dan mencoba menjadi PNS. Ya jelas di-screen pertama saya sudah gugur, karena saya mengaku apa adanya. Itu kekonyolan luar biasa ketika itu aturan perundangan itu," kata Ilham.
Diskriminasi Terus Berlangsung Hingga Kini
Meskipun Permendagri Tahun 1981 itu telah dicabut pada tahun 1999, namun tidak serta merta diskriminasi yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun itu ikut meghilang. Ilham mengatakan, diskriminasi terhadap mereka yang dicap sebagai PKI masih terasa hingga saat ini.
Ilham menyebutkan, masih banyak kasus-kasus pembubaran paksa hingga persekusi yang dialami eks tahanan politik Pulau Buru atau keluarga korban pembantaian sepanjang tahun 1965. Kejadian itu tak hanya dilakukan masyarakat, tapi juga aparat kepolisian jika mengetahui ada acara peluncuran buku ataupun acara diskusi.
"Itu digerebek oleh Ormas, dan polisi seperti biasanya datang terlambat. Itu juga menjadi tekanan atau represi buat kawan-kawan korban. Itu menunjukkan bahwa walaupun peraturan perundangannya itu sudah dicabut tapi represi itu tetap kami rasakan. Bukan lagi dari pemerintah tapi dari ormas-ormas Islam yang mengatasnamakan Islam biasanya, yang melakukan represi kepada kami," beber Ilham.
Padahal, menurut Ilham, para korban yang berani membuka diri bahkan hingga menuliskan ceritanya selama menjadi tahanan politik adalah bagian dari sejarah. Hal itu penting untuk mengimbangi catatan sejarah yang ditulis oleh pihak yang menang, dalam hal ini adalah pemerintahan Orde Baru.
Ilham sendiri tak tahu kapan diskriminasi yang dialami korban-korban tersebut akan berakhir. Sebab, hingga pasca reformasi pun isu komunisme selalu berusaha dihidupkan kembali, khususnya menjelang 30 September.
"Jadi kalau dibilang bahwa kapan ini berakhir, memang tahun-tahun yang tidak pernah berakhir. Setiap tahun ada lagi. Setiap tahun setiap memasuki bulan September muncul dan setelah sekian puluh tahun, sudah hampir 55 tahun ini kemudian masalah itu diangkat lagi dengan cerita yang masih sama juga versinya. Sepanjang hidup, mereka selalu dituduhkan sebagai orang yang bersalah," pungkasnya.