Kisah Ketegaran Suyatmi, Suami Ditangkap karena Dituduh PKI dan Berjuang Hidupi Anak

| 01 Oct 2020 14:17
Kisah Ketegaran Suyatmi, Suami Ditangkap karena Dituduh PKI dan Berjuang Hidupi Anak
Suyatmi/Dok. Sekber 65

ERA.id - Suyatmi selalu menangis manakala ia bercerita tentang kisah suaminya saat dituduh sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Suaminya, Gimin Harto Sugiarto, merupakan mantan tahanan politik (tapol) Pulau Buru dan sudah ditahan selama 13 tahun 8 bulan.

“Pagi itu, suami saya berangkat ke sawah seperti biasa,” kata Suyatmi saat bercerita tentang penangkapan suaminya pada 6 Desember 1965.

Di sawah, Gimin ditangkap dan dipukuli dengan menggunakan rotan. Gimin dipaksa mengakui perbuatannya dengan PKI. Padahal, Gimin tidak terlibat dengan partai mana pun. 

Kata Suyatmi, suaminya hanya aktif di organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan kegiatan fokus pada masalah pangan dan kesejahteraan petani. "Setelah disiksa, Gimin dan tapol lainnya ditahan di Karanganyar selama tiga bulan, sebelum akhirnya dipindahkan ke Lapas Nusakambangan selama lima tahun dua bulan."

Sedihnya, Gimin hanya diberi gulbul untuk mereka makan, yang kini dipakai sebagai makanan kuda. Setiap seminggu sekali, Gimin diberi makan nasi dengan campuran serpihan beling kaca. Miris!

Bukan Gimin saja yang ternyata menderita. Suyatmi juga bersama anaknya. Selama menunggu Gimin pulang, mereka mendapatkan perlakuan diskriminatif dari tetangga sekitar. Sering kali Suyatmi dan keluarganya dicap sebagai PKI.

Pernah ia harus meminta tanda tangan kepala desanya. Namun, kepala desa itu menolak.

"Kamu itu siapa, kok minta tanda tangan ke saya. Sana minta ke tokohnya PKI,” beber Suyatmi meniru ucapan kades itu, dikutip dari Asia Foundation.

Di lain waktu, Suyatmi dan anaknya juga dipermalukan saat mengunjungi suatu pengajian. Ustaz yang memimpin pengajian tersebut tiba-tiba berkata di depan umum, “Mas Deni (anak Suyatmi, red) ini mau melanggengkan PKI, ya?”

Pernah juga anaknya yang lain melamar untuk menjadi polisi, namun akhirnya kandas sebab sampulde (semacam surat kaleng) beredar di sana, yang isinya menyebutkan kalau dia anak PKI. Belum lagi saat Gimin akan dibebaskan, Pemuda Pancasila dan kepala desanya tidak mau menerima Gimin di tengah masyarakat.

"Setelah di Nusakambangan, Gimin dipindah lagi ke Pulau Buru dan ditahan selama 8 tahun 7 bulan."

Meski begitu, Suyatmi tidak menyerah. Dia melakukan apa saja untuk menghidupi keluarganya. Saat ditanya apa saja yang Suyatmi lakukan, dia tidak menjawabnya karena merasa kurang etis jika dibicarakan. “Intinya, saya tidak malu ke siapapun, termasuk tetangga.”

Suyatmi terus bekerja untuk mencukupi kebutuhan kelima anaknya. Berkat kegigihannya, Suyatmi jadi salah satu dari tujuh Srikandi yang terus berjuang demi kehidupannya dalam Majalah PALAWA terbitan SekBer ’65. Banyak juga dosen dari Universitas Gadjah Mada atau Universitas Indonesia yang datang ke rumahnya untuk meminta Suyatmi bercerita tentang kisah hidupnya.

Sepeninggal suaminya, Suyatmi terus melanjutkan perjuangannya serta mengajak anak-anaknya untuk mengurus SekBer ’65. “Sudah amanat dari Bapak,” katanya.

Suyatmi sendiri kini merupakan salah satu kader Pandu Inklusi Nusantara (PINTAR) yang usianya sudah mencapai kepala 6. Namun, perempuan kelahiran 1 Juli 1955 ini tidak menganggap umur sebagai penghalang baginya untuk berjuang.

Sebagai pengurus Sekretariat Bersama (SekBer) ’65 Karanganyar, ia bersama teman-temannya berupaya memperjuangkan hak-hak dan pertanggungjawaban atas penderitaan yang dirasakan para penyintas dan keluarga korban tragedi 1965.

Kini, SekBer ’65 sudah tersebar di enam kabupaten, di antaranya Cilacap, Temanggung, Klaten, Sukoharjo, dan Karanganyar. Di Karanganyar sendiri, bupati sudah berusaha menyelesaikan kasus ’65 dan memberikan fasilitas untuk kesejahteraan mereka.

Sekarang, menurut Suyatmi, semenjak Program Peduli masuk, masyarakat mulai berhenti mengecapnya dengan sebutan PKI. Kebutuhan akan layanan kesehatan mereka juga mulai terpenuhi.  Para orang tua yang sudah lanjut usia juga diberi kemudahan dalam mendapatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Kini, rumah Suyatmi sering dipakai untuk berbagai acara warga, seperti sarasehan, rapat, diskusi atau buka puasa bersama. Anak bungsunya, Deni, juga dipercaya menjadi ketua Karang Taruna. "Harapan saya yang hingga kini belum terwujud yakni penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat ditepati oleh pemerintah. Tolonglah pemerintah merehabilitasi nama penyintas yang terlanjur tercemar karena cap PKI," tandasnya.

Tags : g30s/pki
Rekomendasi