Rekonsiliasi Tanpa Henti, Upaya Ilham Aidit untuk Korban 1965

| 02 Oct 2020 19:30
Rekonsiliasi Tanpa Henti, Upaya Ilham Aidit untuk Korban 1965
Ilham Aidit (Ilham/ Era.id)

ERA.id - Pemerintah pernah mengupayakan jalan rekonsilasi bagi para korban 1965-1966. Adapun yang menjadi korban adalah mereka yang dihukum tanpa pernah diadili, baik itu diasingkan, dipenjara, hingga dihilangkan nyawanya. Tapi pada kenyataannya, upaya rekonsiliasi itu hingga kini masih berjalan di tempat, tidak pernah ada kemajuan. 

Ilham Aidit, putra keempat Ketua Central Committee (CC) PKI Dipa Nusantara Aidit, mengaku sempat merasa lelah dengan berbagai upaya untuk meluruskan sejarah apalagi rekonsiliasi. Namun saat bertemu dengan Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ia menyadari tak boleh menyerah untuk terus mendorong terjadinya rekonsiliasi.

"Saya masih ingat jawaban Gus Dur itu juga simpel dan memberi motivasi kepada saya. Dia mengatakan begini, 'Ilham selama korban itu berbicara, terus bersuara itu ada harapan suatu hari negara akan menyelesaikannya. Tapi kalau kalian berhenti bersuara, berhenti berbicara maka negara juga menganggapnya sudah selesai'," ujar Ilham mengulang percakapannya dengan Gus Dur pada Era.id, Jumat (2/10/2020).

Saat itu, kenang Ilham, Gus Dur mencontohkan perjuangan sekelompok ibu-ibu yang berkumpul di depan Plaza de Mayo, Argentina untuk meminta keadilan kepada negara atas hilangnya anak-anak mereka. Perjuangan para ibu-ibu itu, kata Gus Dur kepada Ilham, akhirnya membuat negara Argentina sadar dan akhirnya menyelesaikan masalah tersebut.

Baginya, upaya rekonsiliasi itu tidak hanya sekedar melegakan bagi para korban 1965-1966, tapi juga mencegah sejarah serupa terulang di masa depan. 

"Banyak kebenaran yang kemudian terbukti setelah berpuluh tahun lamanya. Selama kebenaran dari sejarah itu belum terkuak, itu tendensi untuk keberulangan kesalahan itu akan muncul lagi, karena nggak pernah belajar kalau itu keliru dan kita nggak boleh melakukan itu," tegas Ilham.

Korban Hanya Ingin Permintaan Maaf

Setelah 35 tahun para korban 1965-1966 hidup dalam ketakutan dan perundungan, wacana rekonsiliasi digaungkan pemerintah ketika awal era reformasi. Wacana itu baru ditindaklanjuti pada tahun 2016 dengan membentuk Simposium Nasional Tragedi 1965. 

Namun sekali lagi, hasil dari Simposium Tragedi 1965 itu masih 'jalan di tempat'. Ilham Aidit, putra keempat Ketua CC PKI DN Aidit menilai pembicaraan tentang rekonsiliasi antara korban dengan pemerintah memang masih timbul tenggelam 

"Sudah sampai dibentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi, aturan perundangannya pun sudah mulai dibentuk. Tapi kemudian juga dibakar, hilang begitu saja. On and Off," kata Ilham.

Ilham menyadari upaya rekonsilasi memang tidak mudah. Apalagi ada dua kelompok besar yang terlibat dalam pembantaian sepanjang tahun 1965-1966 pasca peristiwa 30 September 1965. Mereka adalah TNI dan Nahdlatul Ulama (NU). Meskipun saat Gus Dur masih menjabat sebagai Presiden RI pernah ada permintaan maaf kepada para korban, walaupun berujung polemik.

"Saya juga paham bahwa ketika bicara tentang rekonsiliasi tentu akan menyangkut dua institusi yang besar dan sangat penting yang ketika itu banyak terlibat dalam peristiwa itu. Yang satu adalah TNI dan kedua adalah kaum Nahdliyin (NU)," ucap Ilham 

Ilham mengatakan bahwa jika pemerintah berniat menyelesaikan persoalan tragedi 1965 melalui jalur rekonsiliasi, maka harus menlakukan empat hal. Ia menegaskan setidaknya ada pengakuan resmi dari pemerintah atas pembunuhan massal yang terjadi terkait dengan pelurusan sejarah, permintaan maaf, pemenuhan hak-hak korban atas rehabilitasi dan reparasi, serta jaminan tidak berulangnya peristiwa serupa di masa depan.

Namun jika melihat upaya rekonsilasi yang tak pernah berkembang, Ilham menambahkan bahwa saat ini para korban sudah menurunkan egonya. Jika semula banyak tahapan atau pun tuntutan yang diajukan oleh para korban, maka saat ini mereka hanya ingin mendengar permintaan maaf dari pemerintah. Dengan begitu, luka masa lalu bisa sedikit disembuhkan.

"Korban ada di permintaan yang paling-paling bawah. Akui saja itu pernah terjadi, dan akui saja itu sebuah kesalahan dan melakukan penyesalan. Maka itu sudah bisa menyembuhkan sebagain besar luka para korban. Korban-korban yang semula meminta harus begini harus begini, sudah lah, itu aja yang dimintakan dari mereka," pungkasnya.

Rekomendasi