ERA.id - Draft final Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) banyak dikupas oleh publik, terlebih setelah RUU tersebut disahkan sebagai Undang-Undang dalam sidang Rapat Paripurna, Senin (5/10/2020) lalu. Namun, dua hari setelah pengesahan muncul pernyataan bahwa yang beredar bukan draft final.
Hal tersebut diungkapkan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo yang mengaku sedih dengan beredarnya isi draft RUU Cipta Kerja yang belum final di media sosial, bahkan sebelum disahkan DPR RI. Akibatnya, masyarakat jadi salah mengartikan isi perundang-undangan tersebut.
"Artinya, bahwa memang draft ini dibahas tidak sekaligus final itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan. Oleh karena itu, kalau ada pihak-pihak menyampaikan melalui pandangan lama pastinya akan beda dengan yang final," ujar Firman melalui keterangan tertulis, Rabu (7/10/2020).
Dia mengaku, di media sosial banyak pembahasan terkait UU Cipta Kerja yang ngawur lantas menjadi viral. Firman pun menuding, tafsir ngawur itu berasal dari unggahan para mahasiswa dan buruh, hingga akhirnya memprovokasi masyarakat.
"Dari medsos kemudian melalui viral-viral justru itu memprovokasi. Baik itu dari buruh maupun masyarakat dan mahasiswa karena kurang akuratnya data dan informasi yang diperoleh," kata Firman.
Politisi Golkar ini lantas mencontohkan beberapa hal dalam klaster ketenagakerjaan yang viral namun tak akurat, seperti cuti haid dan melahirkan, upah minimum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan outsourcing.
Selain itu, terkait pesangon dalam UU Cipta Kerja juga banyak disalahartikan. Dalam UU tersebut, skema pesangon bagi pekerja diubah dari semula 32 kali upah, menjadi 25 kali upah.
Firman beralasan, perubahan skema itu berdasarkan pertimbangan akan sulit dieksekusi oleh perusahaan maupun pemerintah. Karenanya, Baleg DPR RI dan pemerintah sepakat memangkas skema pesangon.
"Nah dari 25 kali upah itu ada jaminan kehilangan pekerjaan. Kalau dulu 32 kali tidak bisa diesekusi yang namanya karyawan tidak ada jaminan kehilangan pekerjaan. Sekarang dengan adanya UU ini jaminan kehilangan pekerjaan bisa diikuti dengan training oleh badan pelatihan kerja kemudian pekerja nantinya bisa bekerja ditempat lain," papar Firman.
Kembali ke draft final RUU Cipta Kerja, Firman pun menegaskan hingga saat ini pihaknya masih merapikan draft tersebut sebelum ditandatangani Presiden Joko Widodo dan disebarluaskan kepada masyarakat. Karena itu, Firman meminta publik agar informasi-informasi tidak benar ini dikendalikan dulu.
"Sampai hari ini kita sedang rapikan, kita baca dengan teliti kembali naskahnya jangan sampai ada salah typo dan sebagianya. Nanti hasil itu akan segera dikirim ke Presiden untuk ditanda tangani jadi UU dan sudah bisa dibagikan ke masyarakat," ucapnya.
PKS Protes Draft Final Belum Ada Meski Sudah Disahkan
Sementara Anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengungkapkan, draft final tidak dibagikan ke seluruh fraksi ketika pengambilan keputusan tingkat I di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, serta pengambilan keputusan tingkat II di sidang Rapat Paripurna. Kenyataan itu dinilai aneh, apalagi setiap fraksi diminta menyampaikan pendapat tetapi draft utuh belum diserahkan.
"Pembahasan RUU ini sangat terburu-buru, dan bagaimana mungkin fraksi 'dipaksa' untuk menyampaikan pendapat mininya, dan bahkan pendapat akhir di rapat Paripurna, tetapi draft secara utuh RUU Ciptaker itu tidak dibagikan terlebih dahulu," kata Hidayat melalui keterangan tertulis, Rabu (7/10/2020).
Dia kemudian menjelaskan, kebiasaan tata negara dan konvensi penyusunan undang-undang adalah setiap fraksi diberikan draft naskah RUU secara utuh yang sudah disepakati dan selesai dibahas sebelum diminta menyampaikan pendapat mini fraksi dan pendapat akhir.
"Selain hukum yang tertulis, kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan ini juga seharusnya bisa menjadi pedoman dalam pembahasan/pwmgambilan keputusan terhadap Omnibus RUU Ciptaker. Apalagi, RUU ini memiliki dampak kepada lebih dari 78 undang-undang yang berlaku saat ini," ujarnya.
Dalam Tata Tertib DPR pada Pasal 163 Pasal 163 huruf c dan e mengatur ketentuan bahwa setelah pengambilan keputusan tingkat pertama terdapat acara pembacaan dan penandatanganan naskah akhir RUU.
Hidayat juga mengaku, hingga hingga hari ini belum ada naskah UU Cipta Kerja yang final dan utuh diserahkan secara resmi ke fraksi-fraksi di DPR RI maupun disampaikan kepada publik. Hidayat khawatir draft final ini akan berbeda dengan hasil kesepakatan saat pembahasan di tingkat panitia kerja (Panja)
"Karena tidak ada akses bagi Anggota DPR maupun publik untuk membaca draf RUU itu secara utuh," kata dia.
Karena itu, dia memandang proses pengesahan UU Cipta Kerja cacat prosedural karena tidak terpenuhinya asas tranparansi dan kepatuhan pada aspek legal saat pengambilan keputusan.