ERA.id - Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker) disebut Pemerintah sebagai salah satu prioritas transformasi utama, termasuk untuk pemulihan ekonomi pascapandemi. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Anis Byarwati memberikan beberapa catatan kritis tentang hal ini, terutama mengenai seberapa besar UU Cipta Kerja ini dapat membantu ekonomi Indonesia pulih setelah tertekan pandemi COVID-19.
“Omnibus Law Cipta Kerja memiliki beberapa titik kelemahan. Pertama, kelemahan itu berawal dari minimnya penjelasan tentang arah RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah menyebut ‘perbaikan iklim investasi’ namun tidak menerangkan secara detail bagaimana RUU ini berjalan memperbaiki roda perekonomian Indonesia,” ungkap Anis dalam siaran pers, Senin (19/10/2020).
Kedua, lanjut Anis, Pemerintah mengganggap UU Cipta Kerja diperlukan untuk menstimulus perekonomian nasional yang terhempas krisis apalagi di tengah pandemi COVID-19. Namun menurut Anis yang juga Anggota Komisi XI DPR RI ini, perlambatan ekonomi Indonesia saat ini tidak bisa diselesaikan dengan hanya regulasi, karena permasalahan ekonomi Indonesia terletak kepada hal yang lebih mendasar (fundamental).
"Diantara permasalahan ekonomi Indonesia yang mendasar adalah produktivitas tenaga kerja kita yang masih rendah. Menurut laporan Indeks Kompetisi Global yang dirilis di World Economic Forum (WEF) pada tahun lalu, kemampuan pekerja Indonesia berada di peringkat ke 65 dari 141 negara dengan skor 64,” terang legislator daerah pemilihan DKI Jakarta tersebut.
Peringkat ini, nilai Anis, kalah dari negara tetangga seperti Malaysia yang berada di peringkat ke 30 dengan skor 72.5, walaupun kita masih unggul dari Thailand dan Vietnam yang berada di peringkat 73 dan 93.
“Sementara UU Cipta Kerja hanya fokus untuk menghasilkan lapangan kerja baru bukan untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Berdasarkan data ini, RUU Cipta Kerja tidak menjawab permasalahan,” sambungnya.
Ketiga, tambah Anis, UU Cipta Kerja hanya menyentuh problem ekonomi struktural negara dengan fokus utama untuk mempermudah investasi, dan melonggarkan regulasi ketenagakerjaan bukan ke arah ekonomi fundamental, atau hal yang mendasar.
“Sedangkan saat ini, problem ekonomi di Indonesia masih bersifat fundamental (mendasar) seperti yang sudah dijelaskan di atas yaitu tentang produktivitas pekerja,” jelas politikus PKS ini.
Untuk itu, jika pemerintah gagal mengatasi permasalahan fundamental ini, menurutnya ekonomi Indonesia tidak akan bangkit dari stagnasi. Keempat, UU Cipta Kerja dimaksudkan untuk mempermudah investasi.
“Tetapi dengan meletakkan prioritas pada isu ketenagakerjaan, ini adalah diagnosis yang keliru,” tegas Anis.
Sebab mengutip is data World Economic Forum, permasalahan utama yang menghambat investasi di Indonesia adalah korupsi dan ketidakpastian hukum yang melingkupinya.
Riset WEF menunjukkan terdapat 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia dan korupsi menjadi kendala utama. Indonesia saat ini berada di urutan ke-85 dari 180 negara di Indeks Persepsi Korupsi Perception Index 2019 yang di rilis oleh Transparency International.
“Dengan memperhatikan poin-poin diatas, agaknya kita tidak bisa berharap Omnibus Law akan menjadi solusi terhadap permasalahan ekonomi Indonesia di tengah pandemi COVID-19,” tegas Doktor Ekonomi Islam lulusan Universitas Airlangga ini.