ERA.id - Wartawan dinilai wajib menghindari konten pornografi dan membuka identitas anak berhadapan dengan hukum dalam pemberitaan bila mau hidup tenang.
Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat dan ahli pers Dewan Pers Kamsul Hasan mengingatkan konten pornografi bukan bagian dari kemerdekaan pers, tetapi pelanggaran hukum. Selain pornografi, identitas anak berhadapan dengan hukum menjadi hal penting untuk diperhatikan.
Teori 5W dan 1H menurutnya tidak berlaku bila konten berita itu menyangkut kesusilaan dan atau anak berhadapan dengan hukum. Teori tersebut hanya berlaku pada berita yang tidak terkait Kesusilaan, anak berhadapan dengan hukum dan Diskriminasi RAS.
- Fadli Zon: Pemerintah Pusat 'Bersaing' dengan Petamburan, Bukan Negara Lain
- Biden Sebut Penolakan Trump terhadap Pemilu Sangat Tidak Bertanggungjawab
- Saking Kepedasan, Anak Ini Tak Sengaja Minum Air Berisi Cupang
- Beredar Video Kendaraan TNI Show of Force di Depan Markas FPI Petamburan, Ini Penjelasan TNI
"Menyajikan konten pornografi sebagaimana diatur UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi diancam antara enam bulan hingga 12 tahun. Sedangkan membuka identitas anak diancam lima tahun penjara oleh UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), begitu juga tentang diskriminasi RAS," katanya saat jadi pemateri 'Rambu Hukum dan Peraturan Media', di kantor ERA.id, Kamis (19/11).
Melihat ancaman konten tersebut rata-rata di atas tiga tahun tuntutan pidananya setelah 12 tahun, Kamsul mengingatkan membuat konten atau berita yang melanggar saat ini masih bisa dipidanakan sampai tahun 2023.
“Apakah kita mau tersandera dalam waktu yang lama akibat konten atau pemberitaan. Kita pasti tidak mau karena itu produk jurnalistik kita harus menghindari hal tersebut,” tegas Kamsul.