ERA.id - Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab menegaskan slogan revolusi akhlak yang didengungkannya bukanlah gerakan pemberontakan atau pun makar kepada pemerintahan yang sah.
"Jangan ada yang berpikir revolusi akhlak itu revolusi bersenjata atau revolusi pemberontakan. Enggak betul," tegas Rizieq dalam acara Reuni 212 yang disiarkan di Front TV, Rabu (2/12/2020).
Rizieq menyatakan, rovolusi akhlak justru membuka pintu dialog bagi seluruh elemen masyarakat yang memiliki keinginan untuk memajukan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkannya, kata dia, haruslah melibatkan semua kompenen masyarakat.
Rizieq kembali menegaskan tak pernah berniat untuk memberontak terhadap pemerintahan yang sah saat ini. Hanya saja dia sedang melakukan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak populer dan membahayakan keselamatan bangsa serta menindas rakyat.
"Suka tidak suka, adil tidak adil, kita tetap harus mengakui pemerintahan tapi kita objektif. Kebijakannya bagus, baik harus kita apresiasi, kita terima, dan jalankan. Adapun kebijakan yang tidak populer, yang membahayakan keselamatan bangsa dan negara, kebijakan yang menindas harus kita kritisi," kata Rizieq.
"Mengkritik pemerintah yang sah itu bukan makar. Mengkritik itu bukan pemberontakan. Ini yang perlu saya jelaskan. Jadi nggak betul, nggak ada niatan," tegasnya.
Meski demikian, Rizieq mengaku siap pula dikritik. Dia mengatakan jangan sampai ada satu pun pihak yang merasa dirinya paling suci dan paling benar, melainkan harus saling koreksi demi kemajuan bangsa dan negara.
"Jadi kita ingatkan revolusi akhlak jangan digambarkan sebagai revolusi berdarah-darah, revolusi makar, pemberontakan, menjatuhkan pemerintahan yang sah. tidak begitu. Kita membuka diri dialog, rekonsiliasi, ayo sama-sama kita saling kritik dan memperbaiki," tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Muhammad Said Didu menambahkan bahwa revousi akhlak juga memiliki arti supaya para pemimpin negara tidak lagi membohongi rakyatnya.
Dia mengatakan, kerusakan yang terjadi di Indonesia akibat dari ketidakjujuran pemimpin negara dan melahirkan oligarki kekuasaan. Menurutnya, hal ini lebih berbahaya dari virus corona.
"Oligarki kekuasan ini jadi virus berbahaya ketimbang virus corona. Ini yang membuat korupsi dimana-mana, ketidakadilan dimana-mana. Dan terkahir adalah politikk diperbaiki untuk memotong dinasti kekuasaan," ucap Said Didu.