ERA.id - Indonesia memiliki industri pangan nasional dengan potensi yang besar. Produk industri pun sudah menjangkau pasar internasional. Menurut data kementerian perindustrian (Kemenperin) tercatat kurang lebih 1,6 juta pelaku industri pangan di Indonesia.
Namun, angka diatas belum menunjukan mutu dan kualitas produk agar bisa menembus pasar ekspor luar negeri.
“Syarat ekspor produk pangan memang cukup ketat. Maka kami terus memfasilitasi agar IKM (Industri Kecil Menengah) pangan bisa naik kelas, omzetnya naik, teknologi dan mutunya bagus, serta pasarnya bisa makin luas,” kata Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Gati Wibawaningsih melalui keterangannya pada Senin (15/2/2021).
Salah satu yang juga menjadi hambatan ekspor produk pangan nasional ialah terkait standar jaminan keamanan mutu pangan yang minim diperoleh para pelaku industri kecil dan menengah di Indonesia.
“Meski begitu kami terus melakukan pendampingan, bimbingan, dan sertifikasi keamanan mutu pangan dengan Hazard Analitical Critical Control Point (HACCP),” ujarnya.
HACCP sendiri adalah sistem pengamanan produk pangan berstandar internasional yang perlu dimiliki setiap produsen pangan untuk menjamin bahwa produknya aman dikonsumsi. dengan mengantongi sertifikat HACCP, industri pangan akan lebih mudah memasarkan produknya keluar negeri.
“Kami juga sudah kerja sama dengan beberapa marketplace dan diaspora di luar negeri. Kita punya potensi besar untuk meningkatkan produk yang masuk ke pasar ekspor,” terang Gati.
Sementara itu, menurut Jamal Zamrudi salah satu Konsultan HACCP menyatakan bahwa sertifikat ini berguna untuk menjamin konsumen bahwa produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi dan terhindar dari bahaya kontaminan kimia, biologi, dan fisik.
“Syarat mendapatkan sertifikasi HACCP tersebut ialah industri pangan harus memiliki izin usaha industri, serta telah mengantongi izin P-IRT/MD dan sertifikat halal. Dengan sertifikat ini, produsen akan mendapatkan kepuasan pelanggan, meningkatnya reputasi, kenyamanan iklim kerja, dan bukti IKM patuh aturan,” ujarnya.
Menurut Jamal, setiap risiko bahaya dalam proses produksi hingga distribusi akan diuji untuk mencapai nilai standar risiko minimum.
“Batas bahaya tidak sampai nol. Nanti akan disesuaikan regulasinya dan spesifikasi produknya,” imbuhnya.
Jamal mengungkapkan, standar HACCP versi terbaru yang terbit tahun 2020, menyatakan setiap produsen wajib mencantumkan komposisi alergen, upaya pencegahan kontaminasi hingga syarat sanitasi dalam dokumen persyaratan.
Misalnya, industri pangan harus menyebutkan bahan baku yang memicu alergi agar produknya lolos ekspor ke Amerika Serikat.
“Yang berbeda adalah soal validasi atau disertakan bukti bahwa telah dilakukan tindakan pengendalian dari bahaya. Baik bukti dari laboratorium atau jurnal,” pungkasnya.