MUI Dukung Pemerintah Kampanyekan Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan

| 18 Mar 2021 18:05
MUI Dukung Pemerintah Kampanyekan Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan
Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia, Kamis (18/03/2021). (Foto: Istimewa)

ERA.id - Komitmen pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) untuk terus mencegah perkawinan usia anak tidak berhenti usai revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan disahkan. 

Meski batas usia minimum perkawinan bagi perempuan telah ditingkatkan menjadi 19 tahun, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga meyakini jika upaya pencegahan harus terus digaungkan karena besarnya dampak buruk dari perkawinan usia anak, salah satunya adalah stunting.

"Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi. Bahkan data membuktikan, bahwa stunting terlahir dari ibu yang masih berusia anak. Itulah sebabnya mengapa kita merevisi UU No. 1 Tahun 1974 menjadi UU No. 16 Tahun 2019," jelas Menteri PPPA dalam acara Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia, Kamis (18/03/2021).

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga.

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia mulai awal tahun 2020 ternyata juga membawa dampak meningkatnya angka perkawinan usia anak di Indonesia. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. 

Dari jumlah tersebut, 97 persen dikabulkan dan 60 persen yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun. Jumlah permohonan dispensasi kawin tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat 23.700 permohonan. Permohonan dispensasi dilakukan lantaran salah satu atau kedua calon mempelai belum masuk usia 19 tahun berdasarkan Undang-Undang.

Namun demikian, perkawinan usia anak merupakan persoalan lama yang angkanya masih tergolong tinggi di Indonesia, terlepas dalam situasi pandemi atau bukan. Diperlukan langkah-langkah sinergis antar pemangku kepentingan di negeri ini tanpa harus mengabaikan norma-norma agama dan norma-norma kemasyaratan.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Miftachul Akhyar menyatakan dengan tegas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk kemaslahatan keluarga, umat, dan bangsa yang harmoni, yang pada gilirannya akan terwujud generasi Indonesia yang berkualitas pula. 

"Intinya perkawinan di samping Sakinah, Mawaddah, Warahmah, tapi di balik itu ada tugas besar di dalam sebuah perkawinan adalah melahirkan sebuah kehidupan yang harmoni bukan hanya di dunia tetapi sampai nanti di akhirat. Maka tidak serendah pemahaman selama ini asal cocok kawin atau karena batasan usia yang ditetapkan. Tapi kalau belum ada tujuan (harmoni) itu perkawinan yang belum berkualitas," ujar Mifatachul Akhyar.

MUI mengakui jika perkawinan anak marak terjadi karena adanya berbagai faktor. Mifatachul Akhyar menduga banyaknya konten ‘dewasa’ atau pornografi yang membuat anak terpapar konten tersebut menjadi salah satu penyebabnya. Oleh karena itu, menurut Mifatachul Akhyar pencegahan perkawinan usia anak harus diatasi bersama sebagai tanggung jawab bersama.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Miftachul Akhyar.

“Tentu semua itu ada hal-hal yang menjadi penyebab meningkatnya perkawinan usia anak,  terutama di desa-desa. Ini kewajiban kita bersama, dan kewajiban pemerintah untuk mengamati penyebanya,” tambah Mifatachul Akhyar.

Demi mencapai tujuan tersebut, perlu ada langkah pencegahan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang disebabkan oleh ketidaksiapan dalam perkawinan. Salah satu ikhtiar tersebut adalah mendorong pendewasaan usia perkawinan.

Ikhtiar ini memerlukan sinergi seluruh elemen bangsa baik pemerintah melalui Kementerian dan Lembaga maupun masyarakat, dengan cara meningkatkan edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya kesiapan fisik, mental, spiritual, sosial-budaya, dan ekonomi dalam perkawinan agar tercipta perkawinan yang berkualitas, bahagia, dan kekal. 

Berdasarkan hal tersebut, MUI bersama Kemen PPPA RI, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Kementerian Agama RI, Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI serta Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), berkomitmen untuk bekerja sama dan saling mendukung dalam melakukan berbagai upaya pendewasaan usia perkawinan dan peningkatan kualitas keluarga demi kepentingan terbaik bagi anak Indonesia.

Sinergi dan komitmen tersebut direalisasikan dalam bentuk Deklarasi Gerakan Nasional dan Seminar Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan Untuk Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia, yang digelar secara virtual dari Kantor Majelis Ulama, pada Kamis (18/03). Kegiatan juga dihadiri langsung Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin secara virtual.

Disampaikan Ma’ruf Amin, perkawinan yang disiapkan secara matang memiliki kemungkinan yang besar pada terciptanya keluarga harmonis yang bahagia. Untuk itu hal paling utama yang harus disiapkan adalah adanya kematangan individu secara fisik dan mental dari kedua mempelai. Ma’ruf juga berharap agar Gerakan Pendewasaan Perkawinan dapat membuka pemahaman masyarakat tentang tujuan perkawinan.

“Gerakan Pendewasaan Perkawinan harus dapat memberikan advokasi kepada masyarakat, bahwa usia perkawinan jangan hanya dilihat dari sisi bolehnya saja. Tetapi yang paling penting, mengedepankan tujuan perkawinannya yang harus memberikan maslahat, baik maslahat untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat dan bangsa,” ujar Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin.

Rekomendasi