Epidemiolog: Metode Sel Dendritik Vaksin Nusantara Tak Cocok untuk Pandemi COVID-19

| 15 Apr 2021 20:15
Epidemiolog: Metode Sel Dendritik Vaksin Nusantara Tak Cocok untuk Pandemi COVID-19
Vaksin COVID-19 (Dok. Antara)

ERA.id - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyebut sel dendritik yang digunakan pada Vaksin Nusantara lebih tepat untuk terapi atau imunoterapi, daripada dikembangan menjadi vaksin untuk menangani pandemi COVID-19.

Diketahui, Vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dikembangkan dengan metode sel dendritik yang selama ini digunakan untuk terapi bagi pasien kanker. 

"Kalau untuk terapi, riset di rumah sakit ya itu bisa saja dilakukan. Tapi kalau untuk pengendalian pandemi, ini nggak banget," ujar Dicky saat dihubungi, Kamis (15/4/2021).

Dicky menjelaskan, sel dendritik merupakan suatu antigen yang sangat kuat. Kemudian dikembangkan menjadi satu teknologi yang diperkenalkan sebagai strategi terapi terhadap pasien kanker. 

Imunoterapi dengan sel dendritik, kata Dicky, memang cocok digunakan pada pasien kanker karena cenderung lebih aman dan dapat merangsang respon imunitas anti tumor. Sehingga, apabila diberikan kepada pasien kanker maka pasien tersebut memiliki harapan hidup yang lebih panjang.

"Nah, ini (sel dendritik) sebetulnya masuknya kategorinya imunoterapi," kata Dicky.

Namun, ketika sel dendritik dikembangkan ke dalam vaksin untuk penyakit menular seperti SARS-CoV-2 atau COVID-19, memakan waktu penelitian yang panjang. Meskipun, Dicky mengakui bahwa penggunaan sel dendritik ini memiliki potensi yang menjanjikan.

Tapi, tidak tepat jika digunakan untuk penanganan pandemi. Dari sisi strategi kesehatan masyarakat, kata Dicky, Vaksin Nusantara yang menggunakan sel dendritik dinilai tidak efektif, efisien, dan visibel.

Sebab, penelitiannya memerlukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi khusus. Selain itu juga memerlukan fasilitas khusus, dan dari segi biaya juga terhitung mahal. Menurut perhitungannya, untuk mengembangkan sel dendritik diperlukan ongkos sekitar Rp200 juta.

"Kemudian dia itu (sel dendritik) sifatnya individual banget, per pasien. Jadi nggak bisa (untuk menangani pandemi). Lah kalau kita bicara dari situ saja, nggak bisa bicara level puskesmas, posyandu, level di masyarakat miskin, bagaimana dong? Ini sesuatu yang tidak visibel, tidak efektif, tidak efisien untuk strategi pandemi," papar Dicky.

Oleh karena itu, kata Dicky, meskipun Vaksin Nusantara didukung DPR RI dan dikembangkan oleh mantan menteri, namun dia tak melihat Vaksin Nusantara bisa dijadikan strategi untuk mengatasi masalah vaksin COVID-19. 

"Harus dipahami bahwa di tengah situasi seperti ini kita harus memiliki strategi yang secara sumber daya itu bisa kita lakukan dan tidak mengurus baik SDM-nya maupun infrastrukturnya maupun juga biaya dan waktu. Pemerintah kita bukan negara kaya," kata Dicky.

Lagi pula, menurut Dicky, imunoterapi sel dendritik meskipun memiliki akurasi yang tinggi tetap memiliki resiko seperti penyakit autoimun sampai kematian. 

"Jadi ini bukan suatu hal yang tanpa resiko, makanya harus taat pada etika risetnya dan kaidah risetnya. Karena ini bukan suatu yang aman-aman saja, tidak," pungkasnya. 

Rekomendasi